Minggu, 05 Desember 2010

EFEKTIVITAS PENDEKATAN KONTEKSTUAL
(CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING) DALAM
MENGATASI KESULITAN BELAJAR BAHASA INGGRIS
SISWA KELAS II SEMESTER I SMP NEGERI 1
BRANGSONG KENDAL
TAHUN PELAJARAN 2004/2005
SKRIPSI
Untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan
Pada Universitas Negeri Semarang
Oleh :
Dinny Eritha Ningrum
1124000013
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN KURIKULUM TEKNOLOGI PENDIDIKAN
2005
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis senantiasa panjatkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyusun skripsi ini
dengan judul “Efektivitas Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and
Learning) Dalam Mengatasi Kesulitan Belajar Bahasa Inggris Siswa Kelas II
Semester I Sekolah Menengah Pertama Negeri I Brangsong Kota Kendal
Tahun Pelajaran 2004/2005”. Penulis sangat bersyukur karena dapat
menyelesaikan skripsi ini guna memenuhi sebagian persyaratan untuk
memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas
Negeri Semarang.
Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis menyadari banyak pihak yang
telah membantu dan memberikan dorongan sehingga pada akhirnya skripsi ini
dapat berjalan dengan lancar. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :
1. Dr. A.T. Soegito, SH. MM; Rektor Universitas Negeri Semarang
yang telah memberikan kesempatan dalam rangka penulisan skripsi
ini.
2. Drs. Siswanto, MM; Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas
Negeri Semarang yang telah memberikan ijin penelitian.
3. Drs. Haryanto, Ketua Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan
Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan ijin
penelitian.
4. Dr. Nugroho, M.Psi; Pembimbing I yang telah memberikan
bimbingan dan pengarahan dengan sabar dan bijaksana serta
memberikan dorongan dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini.
5. Dra. Nurussa’adah, M.Si; Pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan dan pengarahan dengan sabar dan bijaksana serta
memberikan dorongan dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini.
6. Dra. Hj. Amien Ariyatna Yusuf; Kepala Sekolah SMP Negeri I
Brangsong Kendal, yang telah memberikan ijin untuk
melaksanakan penelitian.
7. Pujiono, S.Pd dan Setyawati Rini, S.Pd; Guru Bahasa Inggris kelas
II-F dan II-B yang telah memberikan bantuan dan dorongan untuk
menyelesaikan skripsi ini.
8. Keluarga besarku yang ada di Semarang yang selalu memberikan
semangat baik secara material maupun spiritual.
9. Teman-temanku yang telah membantu dan selalu memberikan
motivasi dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat ditulis satu
persatu.
Dengan segala kerendahan hati, Penulis menyadari bahwa karya
ini masih belum sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang
sifatnya membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan. Akhirnya
semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi penulis sendiri
khususnya dan pembaca pada umumnya.
Semarang, Januari
2005
Penulis
SARI
Ningrum, Dinny Eritha. 2005. Judul “Efektivitas Pendekatan
Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) Dalam
Mengatasi Kesulitan Belajar Bahasa Inggris pada Siswa
Kelas II Semester I Sekolah Menengah Pertama Negeri I
Brangsong Kota Kendal Tahun Pelajaran 2004 – 2005”.
Skripsi. Jurusan Kurikulum Teknologi Pendidikan, Fakultas
Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing
I Dr. Nugroho, M.Psi. Pembimbing II Dra. Nurussa’adah,
M.Si.
Kata Kunci : Efektivitas, CTL, Kesulitan Belajar, Kuantitatif,
Eksperimen.
Penelitian ini diadakan dengan latar belakang bahwa pada
dasarnya masih terdapat kesulitan dalam belajar Bahasa Inggris Siswa
Sekolah Menengah Pertama sebab pembelajaran yang dilaksanakan
sehari-hari masih menggunakan pendekatan konvensional dalam
proses pembelajarannya. Sedangkan pendekatan CTL bila digunakan
dalam pembelajaran akan dapat memenuhi kebutuhan siswa karena
CTL merupakan metode pembelajaran baru yang menuntut keaktifan
guru dan siswa atau menuntun siswa untuk menemukan sendiri
kandungan materi pelajaran dengan pengalaman.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana
efektivitas pelaksanaan pendekatan CTL pada proses pembelajaran
siswa SMP Negeri I Brangsong Kendal dan untuk mengetahui
seberapa besar pengaruh penerapan pendekatan CTL terhadap
keberhasilan belajar siswa dibandingkan dengan model pembelajaran
konvensional pada mata pelajaran Bahasa Inggris Siswa Kelas II-F
dan II-B Semester I Tahun Pelajaran 2004 – 2005.
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan
ketentuan SMP Negeri I Brangsong Kendal Kelas II-F sebagai
kelompok eksperimen dan kelas II-B sebagai kelompok kontrol yang
sebelumnya telah di matching terlebih dahulu dengan menggunakan
nilai pre-test. Desain eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pola randomized control group pretest-posttest. Pelaksanaan
eksperimen dilakukan sejak bulan September – Oktober 2004.
Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan menggunakan analisa data
dari statistik.
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas II-F dan II-B
SMP Negeri I Brangsong Kendal Tahun Pelajaran 2004 – 2005
dengan jumlah 96 siswa, pengambilan untuk sampel menggunakan
teknik cluster random sampling atau sampel acak berkelompok yang
sebelumnya telah di matching terlebih dahulu dengan hasil 40 siswa
yang dibagi dalam dua kelompok. Untuk kelompok eksperimen 20
siswa dan untuk kelompok kontrol 20 siswa.
Sebelum pelaksanaan eksperimen, maka instrumen tersebut telah
diuji cobakan terlebih dahulu untuk mengetahui tingakat validitas,
reliabilitas, indeks kesukaran dan daya pembeda soal. Dari 25 soal
yang telah diuji cobakan yang dinyatakan valid sebanyak 20 soal yang
selanjutnya akan digunakan dalam penelitian. Dari analisis
reliabilitasnya diperoleh rempiris 0,9746 dengan taraf signifikansi 5%,
diperoleh rtabel 0,444. karena r11 > rtabel, maka dapat disimpulkan bahwa
instrumen yang akan digunakan dalam penelitian tersebut reliabel.
Tehnik pengumpulan data dengan menggunakan test yaitu pretest
dan post-test. Hasil rata-rata pre-test untuk kelompok eksperimen
adalah 72,60 dan untuk kelompok kontrol adalah 72,15. Sedangkan
hasil post-test memiliki mean dari kelompok eksperimen sebesar
81,75 dan kelompok kontrol sebesar 75,75. Teknik analisis yang
digunakan untuk menguji hipotesis ini adalah t-test. Hasil dari
perhitungan statistik diperoleh bahwa nilai thitung sebesar 1,855. Hasil
ini bila dikonsultasikan pada tabel t dengan taraf signifikansi 5%
diperoleh ttabel sebesar 1,69. Dari hasil data tersebut menunjukkan
bahwa thitung lebih besar daripada ttabel, ketentuannya yaitu Ho ditolak
dan Hi diterima.
Berdasarkan ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa
penelitian ini menolak hipotesis nihil (Ho) yang menyatakan bahwa
“Siswa yang menempuh proses belajar mengajar dengan model
pembelajaran CTL hasil belajarnya tidak berbeda dengan siswa yang
menempuh proses belajar mengajar dengan model pembelajaran
konvensional” dan menerima hipotesis penelitian (Hi) yang berbunyi “
Siswa yang menempuh proses belajar mengajar dengan model
pembelajaran CTL hasil belajarnya lebih baik daripada siswa yang
menempuh proses belajar mengajar dengan model pembelajaran
konvensional”.
Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian di atas, penulis sarankan
hal-hal sebagai berikut : (1) Kepada Guru di Sekolah Menengah
Pertama hendaknya dapat mengembangkan kreativitas dalam
melaksanakan pembelajaran yang diantaranya dengan menerapkan
pendekatan belajar mengajar model CTL dalam setiap mata pelajaran
(khususnya mata pelajaran bahasa), (2) Kepada Guru disampaikan
untuk senantiasa bersikap terbuka terhadap inovasi dan merespon aktif
dan kreatif setiap perkembangan pendidikan, sehingga apa yang
dilakukan terhadap siswa benar-benar berguna, baik bagi
kehidupannya sendiri maupun orang lain, (3) Kepada Kepala Sekolah
agar dapat mengevaluasi kegiatan belajar yang dilaksanakan oleh
Guru dan mengadakan monitoring secara rutin dengan tujuan untuk
mengingatkan para Guru agar dapat melaksanakan proses
pembelajaran dengan baik dan (4) Kepada Instansi atau Lembaga yang
terkait dengan penyelenggaraan pendidikan di sekolah, disarankan
untuk mengadakan pelatihan khusus tentang pelaksanaan
pembelajaran model CTL kepada para Guru, sehingga para Guru
dapat bekerja dengan lebih baik dan professional yang nantinya dapat
meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan
potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal
dan diakui oleh masyarakat. Didukung oleh kemajuan ilmu dan teknologi,
dunia pendidikan secara nyata telah berkembang pesat, terlihat dengan adanya
pendidikan Bahasa Inggris dimulai sejak di Sekolah Dasar. Selama ini,
memang kita akui bahwa siswa tingkat dasar di Indonesia masih lemah dalam
penguasaan Bahasa Inggris, juga tertinggal dalam penguasaan ilmu
pengetahuan lanjutan dibanding siswa negara lain yang bahasa ibunya bukan
Bahasa Inggris juga. Laporan Human Development Report United
Development Program (UNDP) tahun 1997 menyatakan bahwa Indeks
Pembangunan Manusia (HDI) yang meliputi pendidikan, kesehatan dan
perekonomian dari 173 negara, Indonesia berada pada peringkat 102 di tahun
2001 dibandingkan dengan Jepang pada peringkat ke-8, dan Thailand ke-47.
Kasihani K.E. Suyanto (2003), menerangkan tahun 2002 responden
3.404 siswa di sepuluh propinsi (Jatim, Jateng, DIY, Bali, NTT, Sulsel,
Kalteng, Kalsel, Sumbar, dan Sumsel) menunjukkan bahwa siswa dengan
NEM tinggi (66,9%) dan dengan NEM rendah (56,4%) telah belajar Bahasa
Inggris ketika di SD. Mereka merasa senang belajar Bahasa Inggris (89,4%
NEM tinggi dan 85,4% NEM rendah). Walaupun merasa senang, mereka juga
menyatakan bahwa belajar Bahasa Inggris itu sulit. Sayang sekali rasa senang
belajar Bahasa Inggris di SD ini ketika di SMP justru menurun menjadi 63%
dan lebih dari separuh (62,9%) menyatakan mengalami kesulitan dalam
pelajaran Bahasa Inggris.
Hasil survey The Political and Economic Risk Consultancy (PERC)
di Hongkong menyatakan sistem pendidikan di Indonesia menempati peringkat
12 di Asia setelah Vietnam, sehingga Indonesia harus mengejar kemajuan
negara lain dengan memperbaiki kualitas pendidikannya. Kenyataan dan
penelitian diagnostik (Sadtono dkk, 1996) menunjukkan bahwa hasil belajar
Bahasa Inggris di SMP masih jauh dari target yang diharapkan. Sebagai contoh
nilai rata-rata tes untuk mengukur ketrampilan membaca 48 siswa SLTP 2
Boyolali Jawa Tengah adalah 4,2 yang menunjukkkan bahwa lebih dari 75%
siswa memiliki ketrampilan membaca dan penguasaan kosakata yang rendah
(Syamsudin, 2001). Hal tersebut sejalan dengan NEM Bahasa Inggris siswa
tahun 1998/1999 sebesar 4,18 dan tahun 2000/2001 sebesar 4,85 yang
dihubungkan dengan skor TOEFL antara 400-500 yang diperoleh guru
instruktur Bahasa Inggris yang diberikan secara random. Kenyataan di
lapangan juga menunjukkan bahwa tenaga kerja Indonesia (TKI) dan tenaga
kerja wanita (TKW) yang keluar negeri kebanyakan lulusan SD/SMP yang
belum dapat berbicara dalam bahasa asing terutama Bahasa Inggris walaupun
dalam bahasa yang sangat sederhana sehingga mereka sukar untuk
berkompetisi dengan tenaga kerja dari negara Philipina dan Thailand yang
dapat berbahasa Inggris. (Depdiknas. 2002. Juklak Inggris SLTP)
Mengikuti era globalisasi dan AFTA sejak tahun 2003, tidak dapat
diragukan bahwa bahasa asing merupakan alat komunikasi terpenting sekaligus
merupakan salah satu ketrampilan hidup (life skill) yang harus dikuasai oleh
seseorang, khususnya siswa. Hal itu sesuai dengan Undang – Undang No. 25
Tahun 2000 tentang Propenas 2000 – 2004 dengan tujuan untuk mengantisipasi
era globalisasi dunia pendidikan.
Untuk itu, anak usia dini lebih baik telah diajarkan bahasa asing.
Ditinjau dari kondisi psikologis anak, saat anak berumur 4 tahun,
perkembangan kapasitas otak hanya 50%. Namun, akan melaju cukup pesat
ketika ia di atas 4 tahun menjelang 8 tahun. Saat itu, perkembangan otaknya
bisa mencapai 80%. Memang, tak salah bila pakar linguistik yang
menyebutkan usia 6-12 tahun merupakan masa emas atau paling ideal untuk
belajar bahasa selain bahasa ibu (bahasa pertama). Pada masa ini anak lebih
berhasil pada penguasaan fonologi (tata bunyi) bahasa Inggris. Sedangkan pada
anak lebih tua 6-15 tahun lebih berhasil pada penguasaan morfologi (satuan
bentuk bahasa terkecil) dan sintaksisnya (susunan tata kalimat). ( Kompas, 14
September 2002 )
Alva Handayani ( 14 September 2002 ), dosen Fakultas Psikologi
Unisba yang sedang menyelesaikan S-II di program Pasca Sarjana Unpad
mengungkapkan otak anak usia 6-15 tahun masih plastis dan lentur sehingga
proses penyerapan bahasa lebih mulus. Lagipula daya penyerapan bahasa pada
anak berfungsi secara otomatis. Cukup dengan pemajanan diri (self exposure)
pada bahasa tertentu. Masa emas itu tidak dimiliki oleh orang dewasa.
Pengajaran Bahasa Inggris pada anak harus memakai cara seperti kalau kita
membawa anak ke dunia yang berkomunikasi dengan Bahasa Inggris. Anak
dihadapkan langsung dengan lingkungan yang berbahasa Inggris. Dengan
begitu, anak akan secara otomatis menyerapnya.
Dalam proses belajar mengajar di sekolah, siswa Sekolah
Menengah Pertama seringkali masih merasa sulit belajar Bahasa Inggris
bahkan cenderung bosan mengikuti proses belajar mengajar di kelas karena
strategi pelajaran yang digunakan oleh guru kurang variatif dan
menyenangkan. Pada saat sedang belajar di kelas, mereka sering bermain atau
minta izin keluar dengan berbagai alasan. Tentunya sistem pembelajaran yang
dilakukan di kelas bagi sekolah dengan sistem full day, tentu bisa menimbulkan
kejenuhan. Bila dibiarkan dapat berakibat fatal yaitu anak menjadi malas
belajar bahkan mogok sekolah.
Untuk menjawab kebutuhan terhadap penguasaan Bahasa Inggris,
kurikulum di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan (Dardjowidjojo,
2000). Dimulai dengan pendekatan tata bahasa dan terjemahan (1945), oral
(1968), audio-lingual (1975), komunikatif (1984) dan kebermaknaan (1994).
Perubahan drastis dalam tahap perumusan kurikulum standar terjadi di tahun
1984 saat pengajaran bahasa asing bergeser dari behaviorism menuju
konstruktivisme. Bahasa dipandang sebagai suatu fenomena sosial, dan
pengajaran bahasa seharusnya lebih menekankan pada penggunaan, bukan
pada struktur bahasa. Mengacu paradigma baru ini, kurikulum 1984 dan 1994
bercita-cita membangun kemampuan siswa untuk berkomunikasi dalam Bahasa
Inggris secara aktif. Akan tetapi, cita-cita dalam kurikulum 1984 dan 1994
sama sekali tidak mendarat dan terlaksana. Sebagian besar guru Bahasa Inggris
di Indonesia belum kompeten dan lancar berbahasa Inggris. Kesulitan dalam
ujian listening Bahasa Inggris bukan hanya disebabkan oleh alasan teknis tetapi
juga mismatch (ketidakterkaitan) antara apa yang diajarkan dengan apa yang
diujikan.
Menurut Adji Esa ( 7 Oktober 2003 ), di masa silam ada ungkapan
bijak seperti “bawalah kelas ke bawah pohon yang rindang”. Yang terjadi
justru anak-anak sekolah menghadapi suasana belajar yang tidak
menyenangkan seperti penegakan disiplin belajar yang keras dan kaku. Siswa
tidak ditumbuhkan minat belajar, tetapi dipaksa mau belajar. Akibatnya hari
libur sekolah dianggap siswa sebagai hari kebebasan yang ditunggu-tunggu.
Siswa Sekolah Menengah Pertama sekarang tampaknya dipaksakan untuk
mempelajari tiga bahasa yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Bahasa
Daerah. Bahkan, terkadang ada sekolah yang mengajarkan juga bahasa Arab
atau Mandarin. Dengan kenyataan itu, bisa dibayangkan bagaimana beratnya
beban siswa. Padahal, mantan Mendikbud Prof. Dr. Fuad Hassan pernah
membuat pernyataan yang patut direnungkan yaitu kualitas pendidikan
sesungguhnya tidak ditentukan oleh banyaknya mata pelajaran, melainkan
daya serap yang maksimal atas pelajaran yang diterimanya di sekolah. (http
://www.Pikiran Rakyat.com/cetak/1003/07/0303.htm – 17k)
Pengajaran Bahasa Inggris di sekolah lebih banyak berfokus pada
pengajaran tata bahasa dan kurang memberikan kesempatan pada siswa untuk
berlatih berbicara dalam Bahasa Inggris. Akibatnya muncul keluhan siswa
bahwa Bahasa Inggris merupakan bahasa kebatinan karena hanya dibatin saja
dan tidak dapat berbicara, mengapa siswa SMP tidak dapat berbicara Bahasa
Inggris sebaik lulusan kursus dan mengapa tidak dapat berbicara dalam Bahasa
Inggris seperti orang asing yang sedang berbicara dalam Bahasa Indonesia
walaupun terpatah-patah. Sehingga konsep yang harus diusahakan antara lain
meningkatkan kesadaran akan pentingnya menyajikan pembelajaran Bahasa
Inggris dengan mengikutsertakan siswa secara aktif, interaktif dan komunikatif
melalui berbagai alat bantu kegiatan atau tugas yang dapat mendorong siswa
untuk berlatih menggunakan bahasa yang dipelajarinya. Akan tetapi
pemahaman yang kurang sempurna atas konsep-konsep tersebut membuat
tujuan pengajaran kurang berhasil. Selain itu, perlunya sarana atau buku yang
bervariasi, bergambar dapat menarik siswa untuk memiliki minat baca yang
tinggi.
Dalam proses belajar aktif di sekolah, siswa tidak hanya menerima
materi pelajaran semata melainkan diberikan kesempatan seluas-luasnya
mengembangkan olah pikir dan wawasannya sehingga mereka tidak lagi
merasa malu-malu dan berani mengambil inisiatif dalam proses belajar
mengajar. “Yang terpenting bagaimana membuat anak didik senang, ibaratnya
belajar sambil bermain, sehingga anak didik bisa leluasa belajar,” kata Agnes,
Pembantu dekan II Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Katolik Widya Mandala Surabaya ( Kompas, 18 Agustus 2001 ). Agnes lebih
lanjut mengatakan, pengalaman selama ini, keberanian siswa dalam proses
belajar aktif masih kurang dan mereka cenderung malu-malu untuk berperan
aktif. Dengan demikian peran guru sangat menentukan proses belajar yang
menekankan pada belajar aktif siswa, sehingga akan terbangun interaksi, dalam
proses belajar khususnya mata pelajaran Bahasa Inggris.
Misalnya mencoba menerapkan pendekatan kontekstual
(Contextual Teaching and Learning). Merupakan konsep belajar yang
membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi
dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka
sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Kelebihan konsep belajar ini yaitu
hasil pembelajaran diharapkan alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja
dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi
pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.
Sesuai dengan teori di atas maka dapat dicari berbagai macam
kesulitan belajar Bahasa Inggris bagi anak Sekolah Menengah Pertama, yang
kemudian akan berpengaruh terhadap proses belajar mengajar yang diberikan
oleh guru. Dengan mengetahui kesulitan dalam belajar Bahasa Inggris dapat
membantu guru dalam memberikan pelajaran dan menerapkan strategi belajar
yang akan dipakai. Sehingga dapat menghasilkan pembelajaran yang optimal.
Berdasar latar belakang masalah tersebut maka pembelajaran
dengan pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning) Bahasa
Inggris bagi anak usia Sekolah Menengah Pertama, diangkat menjadi
permasalahan penelitian ini.
Sehingga penulis terdorong untuk melakukan penelitian mengenai
Efektivitas Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning)
Dalam Mengatasi Kesulitan Belajar Bahasa Inggris pada Siswa Kelas II
Semester I SMP Negeri 1 Brangsong Kendal Tahun Pelajaran 2004/2005.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam penelitian
ini adalah :
1. Adakah perbedaan hasil belajar Bahasa Inggris antara kelompok belajar yang
menggunakan pendekatan kontekstual dengan kelompok yang tidak
menggunakan pendekatan kontekstual?
2. Seberapa besar efektivitas proses belajar mengajar Bahasa Inggris dengan
pendekatan kontekstual untuk mengatasi kesulitan belajar Bahasa Inggris?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan hasil belajar Bahasa Inggris antara
kelompok yang menggunakan pendekatan kontekstual dengan kelompok
yang tidak menggunakan pendekatan kontekstual.
2. Untuk mengetahui seberapa besar efektivitas penggunaan pendekatan
kontekstual yang diberikan oleh guru dalam memberikan mata pelajaran
Bahasa Inggris.
1.4. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, dapat diperoleh manfaat atau
pentingnya penelitian. Adapun manfaat penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam
pengembangan ilmu pengetahuan, selain itu juga dapat memberi pemahaman
psikologis terhadap guru-guru dalam penggunaan pendekatan kontekstual
(Contextual Teaching and Learning) khususnya mata pelajaran Bahasa Inggris.
2. Manfaat Praktis
Bagi Peneliti
Untuk menambah pengetahuan dan berbagai sarana untuk menerapkan
pengetahuan yang diperoleh di bangku kuliah terhadap masalah nyata yang
dihadapi oleh dunia pendidikan.
Bagi Sekolah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pada pihak
sekolah, yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
memacu belajar siswa.
Bagi Fakultas
Dapat digunakan sebagai bahan untuk mengembangkan pengetahuan serta
bahan perbandingan bagi pembaca yang akan melakukan penelitian,
khususnya tentang efektifitas penggunaan pendekatan kontekstual
(Contextual Teaching and Learning ) dalam kegiatan belajar mengajar.
BAB II
LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS
A. KAJIAN PUSTAKA
2.1. Konsep Bahasa
2.1.1. Bahasa dan Berbahasa
Bahasa dan berbahasa adalah dua hal yang berbeda. Bahasa adalah
alat verbal yang digunakan untuk berkomunikasi, sedangkan berbahasa adalah
proses penyampaian informasi dalam berkomunikasi itu.
2.1.1.1. Hakikat Bahasa
Bahasa itu adalah satu sistem, sama dengan sistem-sistem lain,
yang sekaligus bersifat sistematis dan bersifat sistemis. Jadi, bahasa itu bukan
merupakan satu sistem tunggal melainkan dibangun oleh sejumlah subsistem.
Sistem bahasa ini merupakan sistem lambang, sama dengan sistem lambang
lalu lintas, atau sistem lambang lainnya. Hanya, sistem lambang bahasa ini
berupa bunyi, bukan gambar atau tanda lain. Dan bunyi itu adalah bunyi bahasa
yang dilahirkan oleh alat ucap manusia.
2.1.1.2.Asal – Usul Bahasa
Banyak teori telah dilontarkan para pakar mengenai asal-usul
bahasa. Beberapa diantaranya adalah :
a. F. B. Condillac (1975), seorang filsuf bangsa Perancis berpendapat bahwa
bahasa itu berasal dari teriakan-teriakan dan gerak-gerik badan yang bersifat
naluri yang dibangkitkan oleh perasaan atau emosi yang kuat. Kemudian
teriakan-teriakan ini berubah menjadi bunyi-bunyi yang bermakna, dan yang
lama kelamaan semakin panjang dan rumit.
b. Von Sclegel (1975), seorang ahli filsafat bangsa Jerman, berpendapat bahwa
bahasa-bahasa yang ada di dunia ini tidak mungkin bersumber dari satu
bahasa. Asal-usul bahasa itu sangat berlainan tergantung pada faktor-faktor
yang mengatur tumbuhnya bahasa itu. Ada bahasa yang lahir dari onomatope
yaitu peniruan bunyi alam, ada juga yang lahir dari kesadaran manusia.
c. Brooks (1975), memperkenalkan satu teori mengenai asal-usul bahasa yang
sejalan dengan perkembangan psikolinguistik. Bahasa itu lahir pada waktu
yang sama dengan kelahiran manusia. Bahasa pada mulanya berbentuk bunyibunyi
tetap untuk menggantikan atau sebagai simbol bagi benda, hal, atau
kejadian tetap di sekitar yang dekat dengan bunyi-bunyi itu. Kemudian bunyibunyi
itu dipakai bersama oleh orang-orang di tempat itu.
2.1.1.3. Fungsi – Fungsi Bahasa
Fungsi bahasa adalah alat interaksi sosial, dalam arti alat untuk
menyampaikan pikiran, gagasan, konsep, atau juga perasaan (Chaer, 1995).
Wardhaugh (1972), seorang pakar sosiolinguistik juga mengatakan bahwa
fungsi adalah alat komunikasi manusia, baik lisan maupun tulisan. Namun,
fungsi ini sudah mencakup lima fungsi dasar. Kelima fungsi dasar ini
mewadahi konsep bahwa bahasa alat untuk melahirkan ungkapan-ungkapan
batin yang ingin disampaikan seorang penutur kepada orang lain. (Michel,
1967 : 51)
Fungsi ekspresi adalah penggunaan bahasa untuk pernyataan senang, benci,
kagum, marah, jengkel, sedih, dan kecewa dapat diungkapkan dengan bahasa
meskipun tingkah laku, gerak-gerik, dan mimik juga berperan dalam
pengungkapan ekspresi batin itu.
Fungsi informasi adalah fungsi untuk menyampaikan pesan atau amanat
kepada orang lain.
Fungsi eksplorasi adalah penggunaan bahasa untuk menjelaskan suatu hal,
perkara, dan keadaan.
Fungsi persuasi adalah penggunaan bahasa yang bersifat mempengaruhi atau
mengajak orang lain untuk melakukan sesuatu secara baik-baik.
Fungsi entertainment adalah penggunaan bahasa dengan maksud menghibur,
menyenangkan, atau memuaskan perasaan batin.
Karena bahasa ini digunakan manusia dalam segala tindak
kehidupan, sedangkan perilaku dalam kehidupan itu sangat luas dan beragam,
maka fungsi-fungsi bahasa itu bisa menjadi sangat banyak sesuai dengan
banyaknya tindak dan perilaku serta keperluan manusia dalam kehidupan.
(Chaer, 1995 : Nasaban, 1984)
2.1.1.4. Struktur Bahasa
Dalam setiap analisis bahasa ada dua buah konsep yang perlu
dipahami, yaitu struktur dan sistem. Struktur menyangkut masalah hubungan
antara unsur-unsur di dalam satuan ujaran, misalnya antara fonem dengan
fonem di dalam kata, antara kata dengan kata di dalam frase, atau juga antara
frase dengan frase di dalam kalimat. Sedangkan sistem berkenaan dengan
hubungan antara unsur-unsur bahasa pada satuan-satuan ujaran yang lain.
2.1.2. Hubungan Berbahasa, Berpikir dan Berbudaya
Berbahasa adalah penyampaian pikiran atau perasaaan dari orang
yang berbicara mengenai masalah yang dihadapi dalam kehidupan budayanya.
Jadi, kita lihat berbahasa, berpikir, dan berbudaya adalah tiga hal atau tiga
kegiatan yang saling berkaitan dalam kehidupan manusia.
a. Teori Wilhelm Von Humboldt
Wilhelm Von Humboldt (1767 – 1835), sarjana abad ke – 19,
menekankan adanya ketergantungan pemikiran manusia pada bahasa.
Maksudnya, pandangan hidup dan budaya suatu masyarakat ditentukan oleh
bahasa masyarakat itu sendiri. Anggota-anggota masyarakat itu tidak dapat
menyimpang lagi dari garis-garis yang telah ditentukan oleh bahasanya itu.
b. Teori Sapir - Whorf
Edward Sapir (1884 – 1939) linguis Amerika memiliki pendapat yang
hampir sama dengan Von Humboldt. Sapir mengatakan bahwa manusia hidup
di dunia ini di bawah “belas kasih” bahasanya yang telah menjadi alat
pengantar dalam kehidupannya bermasyarakat. Telah menjadi fakta bahwa
kehidupan suatu masyarakat sebagian “didirikan” di atas tabiat-tabiat dan
sifat-sifat bahasa itu. Karena itulah, tidak ada dua buah bahasa yang sama
sehingga dapat dianggap mewakili satu masyarakat yang sama. Setiap bahasa
dari satu masyarakat telah “mendirikan” satu dunia tersendiri untuk penutur
bahasa itu.
Benjamin Lee Whorf (1897 – 1941), murid Sapir, menolak pandangan
klasik mengenai hubungan bahasa dan berpikir yang mengatakan bahwa
bahasa dan berpikir merupakan dua hal yang berdiri sendiri. Pandangan klasik
juga mengatakan meskipun setiap bahasa mempunyai bunyi-bunyi yang
berbeda, tetapi semuanya menyatakan rumusan-rumusan yang sama yang
didasarkan pada pemikiran dan pengamatan yang sama. (Simanjuntak, 1987).
c. Teori Jean Piaget
Piaget (1962), sarjana Perancis berpendapat justru pikiranlah yang
membentuk bahasa. Tanpa pikiran bahasa tidak akan ada. Pikiranlah yang
menentukan aspek-aspek sintaksis dan leksikon bahasa, bukan sebaliknya.
Piaget mengembangkan teori pertumbuhan kognisi. Piaget
mengemukakan dua hal penting mengenai hubungan bahasa dengan kegiatankegiatan
intelek (pikiran), sebagai berikut :
1. Sumber kegiatan intelek tidak terdapat dalam bahasa, tetapi dalam
periode sensomotorik, yaitu satu sistem skema, dikembangkan secara
penuh dan membuat lebih dahulu gambaran-gambaran dari aspek-aspek
struktur golongan-golongan dan hubungan-hubungan benda-benda
(sebelum mendahului gambaran-gambaran lain) dan bentuk-bentuk dasar
penyimpanan dan operasi pemakain kembali.
2. Pembentukan pikiran yang tepat dikemukakan dan berbentuk terjadi pada
waktu yang bersamaan dengan pemerolehan bahasa. Keduanya memiliki
suatu proses yang lebih umum, yaitu konstitusi fungsi lambang pada
umumnya. Fungsi lambang ini mempunyai beberapa aspek.
Piaget menegaskan bahwa intelek (pemikiran) sebenarnya adalah aksi
atau perilaku yang telah dinuranikan dan dalam kegiatan-kegiatan
sensomotorik termasuk juga perilaku bahasa.. yang perlu diingat adalah
bahwa dalam jangka waktu sensomotor ini kekekalan benda merupakan
pemerolehan umum.
d. Teori Eric Lenneberg
Eric Lenneberg (1964) mengajukan teori yang disebut Teori
Kemampuan Bahasa Khusus. Menurut beliau, banyak bukti yang
menunjukkan bahwa manusia menerima warisan biologi asli berupa
kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang khusus untuk
manusia dan yang tidak ada hubungannya dengan kecerdasan dan pemikiran.
Bukti bahwa manusia telah dipersiapkan secara biologis untuk
berbahasa menurut Lenneberg adalah sebagai berikut :
Kemampuan berbahasa sangat erat hubungannya dengan bagian-bagian
anatomi dan fonologi manusia, seperti bagian-bagian otak tertentu
(bagian konteks tertentu) yang mendasari bahasa.
Jadwal perkembangan bahasa yang sama berlaku bagi semua kanakkanak
normal. Semua kanak-kanak bisa dikatakan mengikuti strategi dan
waktu pemerolehan bahasa yang sama, yaitu lebih dahulu menguasai
prinsip-prinsip pembagian dan pola persepsi.
Perkembangan bahasa tidak dapat dihambat meskipun pada kanak-kanak
yang mempunyai cacat tertentu seperti buta, tuli, atau memiliki orang tua
pekak sejak lahir. Namun, bahasa kanak-kanak ini tetap berkembang
dengan hanya sedikit keterlambatan.
Bahasa tidak dapat diajarkan pada makhluk lain. Hingga saat ini belum
pernah ada makhluk lain yang mampu menguasai bahasa, sekalipun telah
diajar dengan cara-cara yang luar biasa.
e. Teori Bruner
Bruner (1965) memperkenalkan teori yang disebutnya Teori
Instrumentalisme. Menurut teori ini bahasa dapat membantu pemikiran
manusia supaya dapat berpikir lebih sistemis. Bahasa dan pemikiran
berkembang dari sumber yang sama. Bahasa sebagai alat pemikiran harus
berhubungan langsung dengan perilaku aksi, dan dengan struktur perilaku ini
pada peringkat permulaan.
2.1.3. Perkembangan Pemerolehan Bahasa
Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang
berlangsung di dalam otak seseorang kanak-kanak ketika memperoleh bahasa
pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dari
pembelajaran bahasa (language learning). Pembelajaran bahasan berkaitan
dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seorang kanak-kanak
mempelajari bahasa kedua, setelah dia memperoleh bahasa pertamanya. Jadi,
pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama, sedangkan
pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua.
Ada dua proses yang terjadi ketika seorang kanak-kanak sedang
memperoleh bahasa pertamanya, yaitu proses kompetensi dan proses
performansi. Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang
berlangsung secara tidak disadari. Proses kompetensi ini menjadi syarat untuk
terjadinya proses performansi yang terdiri dari dua buah proses, yaitu proses
pemahaman melibatkan kemampuan atau kepandaian mengamati atau
kemampuan mempersepsi kalimat-kalimat yang didengar. Sedangkan
penerbitan melibatkan kemampuan mengeluarkan atau menerbitkan kalimatkalimat
sendiri.
2.1.3.1. Karakteristik Bahasa
Kita biasanya bicara, mendengar, dan membaca tanpa pernah
memikirkan tentang hal tersebut. Bahasa sama sekali dekat dengan kita. Di sisi
lain, ketika kita mencoba belajar sebuah bahasa baru atau memulai memikirkan
tentang bagaimana bahasa diperoleh anak kecil, itu sama seperti memberikan
penjelasan yang panjang. Apa itu bahasa, dan bagaimana kita dapat memulai
mengerti bahasa itu ?
2.1.3.2. Komponen Bahasa
Bahasa adalah fenomena kompleks yang mempunyai beberapa elemen
yang saling berhubungan. Bahasa dibangun dari bunyi yang merupakan signal
perbedaan makna yang disebut fonem. Morfem adalah unit terkecil yang
mempunyai makna, leksikal cocok untuk kata sederhana, walaupun
gramatikalnya merubah kata. Makna kata adalah fokus dari semantik,
walaupun dengan menunjukkan bahwa kata dapat dikombinasi ke dalam unit
terbesar / dapat membentuk keseluruhan makna kata. Pragmatik menunjukkan
efek dari konteks bahasa.
Bagan 1.1 :
Komponen Bahasa
John A. and Roger H, 1987 : 141
Phones / bunyi
Bunyi manusia dapat dibuat dengan vokalnya yang menjadi dasar untuk semua
bahasa. Dengan jelas, mengenal cara berbicara (logat) mengenai bunyi dan
belajar membuat bunyi.
Phonemes / fonem
BAHASA
Bunyi
Bahasa
Struktur
Bahasa
Bunyi
Makna
Bahasa
Fonem Morfem Sintaksis Semantik Pragmatik
Fungsi bunyi dibedakan satu kata dari kata yang lain dalam bahasa khusus.
Dapat diartikan unit terkecil dari bunyi yang berbeda dalam menghasilkan
bunyi dalam perbedaan makna.
Morphemes / morfem
Dari beberapa bahasa dapat dibuat dari unit terkecil yang mempunyai makna.
Syntax / sintaksis
Bahasa tidak hanya kata. Dalam berbahasa, kata mempunyai bagian unit
terbesar, seperti frase, klausa, atau kalimat. Sintaksis adalah ucapan yang
digunakan menurut aturan bahasa bahwa kata adalah kombinasi makna dalam
unit terbesar.
Semantics / semantik
Tujuan dari bahasa adalah penyampaian makna. Anak – anak dan orang
dewasa menggunakan bahasanya untuk memberikan pengertian, membuat
permintaan, aksi protes dan memberikan informasi kepada yang lainnya.
Semantik adalah setiap kata dapat membentuk keseluruhan makna kata dari
kombinasi kata.
Pragmatics / pragmatik
Efek dari konteks bahasa.
2.1.3.3. Pengetahuan Ilmu Bahasa
Anak – anak menggunakan bahasa dengan lancar jauh sebelum
mereka mempunyai banyak pengetahuan tentang bahasa. Tidak sampai
setengah dari masa kanak – kanak dapat membuat anak berfikir tentang bahasa
merupakan bagian abstraksi dari dirinya.
Perkembangan pengetahuan ilmu bahasa, bagaimanapun juga telah
memberikan kemampuan untuk menganalisa dan menggunakan bahasa secara
singkat. Pengetahuan ilmu bahasa datang dalam beberapa bentuk. Satu bentuk
dari pengetahuan ilmu bahasa adalah realisasi kata yang terpisah dari
referensinya. (John A. Glover, Roger, 1987 : 150)
Dua periode utama dalam pembentukan bahasa pada manusia yaitu :
1. Periode Preling, dari lahir sampai umur 1 tahun : apa yang diucapkan tidak
mengandung arti.
2. Periode Linguistik, satu tahun ke atas : apa yang diucapkan mulai mengandug
arti.
Bersuara menjadi cara berkomunikasi dan ini merupakan awal dari
bahasa yang sebenarnya. Kombinasi dari komunikasi dan vokalisasi menandai
awal periode linguistik. Ketika anak-anak bergumam mereka tidak dibatasi
oleh arti. Bergumam adalah latihan yang baik untuk anak-anak, namun tidak
dapat disebut bunyi atau bahasa. Kata-kata pertama bunyi berbeda dengan
kata-kata orang dewasa. Secara bertahap kata-kata yang diucap menjadi lebih
jauh dari konteks walaupun pada tahap presimbolik kata-kata mengikuti aksi /
tindakan. Pada tahap selanjutnya, anak sudah mampu mengartikan kata-kata.
Perkembangan kosakata pada anak sejalan dengan pertambahan umur.
Penggunaan kata – kata pada anak dengan tujuan :
a. Untuk tujuan kognitif ; memberi nama, mengomentari tindakan, dsb.
b. Untuk tujuan instrumental ; meminta atau menyatakan keinginan.
Anak dapat mulai menggunakan kalimat setelah mereka menguasai kosakata,
kemudian berkembang menjadi kalimat komplek, tahapan tersebut disebut
replacement sequences. Menjelang usia 3 – 4 tahun, anak sudah dapat
menguasai elemen bahasa terpenting seperti kosakata, fungsi kata, sintaksis
bahkan mampu menyusun kata menjadi kalimat, selain itu mereka juga
menguasai dasar percakapan dengan beragam topik.
Sebagian besar kosakata yang digunakan orang-orang tidak dipelajari melalui
pembelajaran formal. Tetapi mereka mengenali kata-kata baru dari percakapan
melalui kegiatan membaca, hingga kosakata mereka semakin bertambah.
Pencarian arti atau makna kata tidak hanya didapat melalui kamus tetapi
dengan menerkanya disesuaikan dengan konteks kata tersebut diucapkan.
Pada pertengahan tingkat sekolah dasar, percakapan anak-anak berkembang
sangat cepat. Siswa perlu belajar berinteraksi baik dalam kelompok besar
maupun kecil. Ruang kelas merupakan wadah yang penting bagi
perkembangan percakapan, dimana guru bertanggung jawab untuk
menciptakan lingkungan pembelajaran yang efektif. Pada usia 10-11 tahun,
anak mulai dapat melihat bahwa bahasa mempunyai ciri-ciri obyektif yang
dapat diteliti. Mereka telah mempunyai kemampuan metalinguistik yaitu
kemampuan untuk menganalisa bahasa secara obyektif.
2.1.3.4. Beberapa Hipotesis Tentang Pemerolehan Bahasa
Hipotesis Nurani
Setiap bangsawan (penutur asli suatu bahasa) tentu mampu memahami
dan membuat (menghasilkan, menerbitkan) kalimat-kalimat dalam bahasanya
karena dia telah “menuranikan” atau “menyimpan” dalam nuraninya akan tata
bahasa bahasanya itu menjadi kompetensi (kecakapan) bahasanya, juga telah
menguasai kemampuan-kemampuan performansi (pelaksanaan) bahasa itu.
Hipotesis nurani lahir dari beberapa pengamatan yang dilakukan para
pakar terhadap pemerolehan bahasa kanak-kanak (Lenneberg, 1967, Chomsky,
1970). Diantara hasil pengamatan tersebut adalah sebagai berikut :
a. Semua kanak-kanak yang normal akan memperoleh bahasa ibunya asal saja
“diperkenalkan” pada bahasa ibunya itu. Maksudnya, dia tidak diasingkan
dari kehidupan ibunya (keluarganya).
b. Pemerolehan bahasa tidak ada hubungannya dengan kecerdasan kanak-kanak.
Artinya, baik anak yang cerdas maupun yang tidak cerdas akan memperoleh
bahasa itu.
c. Kalimat-kalimat yang didengar kanak-kanak seringkali tidak gramatikal,
tidak lengkap dan jumlahnya sedikit.
d. Bahasa tidak dapat diajarkan kepada makhluk lain, hanya manusia yang dapat
berbicara.
e. Proses pemerolehan bahasa oleh kanak-kanak dimanapun sesuai dengan
jadwal yang erat kaitannya dengan proses pematangan jiwa kanak-kanak.
f. Struktur bahasa sangat rumit, kompleks, dan bersifat universal. Namun, dapat
dikuasi kanak-kanak dalam waktu yang relatif singkat, yaitu dalam waktu
antara tiga atau empat tahun saja.
Mengenai hipotesis nurani ini perlu dibedakan adanya dua macam
hipotesis nurani yaitu hipotesis nurani bahasa yang merupakan satu asumsi
yang menyatakan bahwa sebagian atau semua bagian dari bahasa tidaklah
dipelajari atau diperoleh tetapi ditentukan oleh fitur-fitur nurani yang khusus
dari organisme manusia, dan hipotesis nurani mekanisme menyatakan bahwa
proses pemerolehan bahasa oleh manusia ditentukan oleh perkembangan
kognitif umum dan mekanisme nurani umum yang berinteraksi dengan
pengalaman. (Simanjuntak, 1977). Maka beda kedua hipotesis ini adalah
bahwa hipotesis nurani bahasa menekankan terdapatnya sesuatu “benda”
nurani yang dibawa sejak lahir yang khusus untuk bahasa dan berbahasa.
Sedangkan hipotesis nurani mekanisme terdapatnya suatu “benda” nurani
berbentuk mekanisme yang umum untuk semua kemampuan manusia. Bahasa
dan berbahasa hanyalah sebagian saja dari yang umum itu.
Hipotesis Tabularasa
Tabularasa secara harfiah berarti “kertas kosong”, dalam arti belum
ditulis apa-apa. Kemudian, hipotesis ini menyatakan bahwa otak bayi pada
waktu dilahirkan sama seperti kertas kosong, yang nanti akan ditulis atau diisi
dengan pengalaman-pengalaman. Hipotesis ini pada mulanya dikemukakan
oleh John Locke seorang tokoh empirisme yang sangat terkenal kemudian
dianut dan disebarluaskan oleh John Watson seorang tokoh terkemuka aliran
behaviorisme dalam psikologi.
Teori pembelajaran bahasa pelaziman operan menyatakan bahwa
perilaku berbahasa seseorang dibentuk oleh serentetan ganjaran yang beragamragam
yang muncul di sekitar orang itu. Seorang kanak-kanak yang sedang
memperoleh sistem bunyi bahasa ibunya, pada mulanya akan mengucapkan
semua bunyi yang ada pada semua bahasa yang ada di dunia ini pada tahap
berceloteh (babling period). Namun, orang tua si bayi atau kanak-kanak itu
hanya memberikan bunyi-bunyi yang ada dalam bahasa ibunya saja. Maka
dengan demikian, si bayi hanya dilazimkan untuk menirukan bunyi-bunyi dari
bahasa ibunya saja. Lalu, si bayi akan menggabungkan bunyi-bunyi yang telah
dilazimkan itu untuk menirukan ucapan-ucapan orang tuanya. Jika tiruannya
itu betul atau mendekati ucapan yang sebenarnya, maka dia akan mendapat
“hadiah” dari ibunya berupa senyuman, tawa, ciuman, dan sebagainya. Bisa
dikatakan bahasa kanak-kanak itu berkembang setahap demi setahap, mulai
dari bunyi, kata, frase atau kalimat. Menurut teori behaviorisme ini bahasa
adalah sekumpulan tabiat-tabiat atau perilaku-perilaku. Tabiat-tabiat seperti
inilah yang dituliskan pada “kertas kosong” tabularasa otak kanak-kanak.
Hipotesis Kesemestaan Kognitif
Dalam kognitifisme hipotesis kesemestan kognitif yang diperkenalkan
oleh Piaget telah digunakan sebagai dasar untuk menjelaskan proses-proses
pemerolehan bahasa kanak-kanak. Urutan pemeroleh ini secara garis besar
adalah sebagai berikut :
a. Antara usia 0 – 1,5 tahun kanak-kanak mengembangkan pola-pola aksi dengan
cara bereaksi alam sekitarnya. Kemudian pola ini diatur menjadi strukturstruktur
akal (mental). Berdasarkan struktur-struktur akal ini kanak-kanak
mulai membangun satu dunia benda-benda yang kekal yang lazim disebut
kekekalan benda. Maksudnya, kanak-kanak telah mulai sadar bahwa meskipun
benda-benda yang pernah diamatinya atau disentuhnya hilang dari
pandangannya, namun tidak berarti benda-benda itu tidak ada lagi di dunia ini.
b. Setelah struktur aksi dinuranikan, maka kanak-kanak memasuki tahap
representasi kecerdasan, yang terjadi antara usia 2 tahun samapai 7 tahun. Pada
tahap ini kanak-kanak telah mampu membentuk representasi simbolik bendabenda
seperti permainan simbolik, peniruan, bayangan mental, gambar-gambar
dan lain-lain.
c. Setelah tahap representasi kecerdasan, dengan representasi simboliknya
berakhir, maka bahasa kanak-kanak semakin berkembang dan dengan
mendapatkan nilai-nilai sosialnya.
2.1.4. Pembelajaran Bahasa Kedua
Digunakannya istilah pembelajaran bahasa karena diyakini bahwa
bahasa kedua dapat dikuasai hanya dengan proses belajar, dengan cara sengaja
dan sadar. Hal ini berbeda dengan penguasaan bahasa pertama atau bahasa ibu
yang diperoleh secara alamiah, secara tidak sadar di dalam lingkungan
keluarga pengasuh kanak-kanak itu. (Chaer dan leonie, 1995).
Penggunaan istilah bahasa – ibu perlu dilakukan dengan hati-hati
sebab banyak kasus terjadi, terutama di kota besar yang multilingual seperti
Jakarta, bahasa ibu seseorang bukanlah bahasa yang digunakan atau dikuasai
ibu sejak lahir. Di Jakarta banyak pasangan suami istri, yang bila berdua saja
menggunakan bahasa daerah tetapi bila ada kanak-kanaknya mereka
menggunakan bahasa Indonesia. Dengan demikian bahasa-ibu atau bahasa
pertama si anak adalah bahasa Indonesia dan bukan bahasa yang digunakan
oleh ibu dan bapaknya. Jadi, sebenarnya penggunaan istilah bahasa pertama
akan lebih tepat daripada penggunaan bahasa ibu. Kanak-kanak yang berada
pada masa kritisnya memang mudah untuk belajar bahasa. Berbeda dengan
orang dewasa atau mereka yang masa kritisnya sudah lewat tidak akan mudah
belajar bahasa lain, apalagi pengganti bahasa yang sudah dinuranikannya
dengan bahasa lain.
Ellis (1986 : 215) menyebutkan adanya dua tipe pembelajaran
bahasa yaitu tipe naturalistik dan tipe formal di dalam kelas. Yang pertama tipe
naturalistik bersifat alamiah tanpa guru dan tanpa kesengajaan. Pembelajaran
berlangsung di dalam lingkungan kehidupan bermasyarakat. Dalam masyarakat
bilingual atau multilingual tipe naturalistik banyak dijumpai. Tipe kedua yang
bersifat formal berlangsung di dalam kelas dengan guru, materi, dan alat-alat
bantu belajar yang sudah dipersiapkan. Seharusnya hasil yang diperoleh secara
formal dalam kelas ini jauh lebih baik daripada hasil secara naturalistik.
Namun, kenyataan di negeri kita yang bisa kita saksikan hingga sekarang hasil
pembelajaran bahasa sangat tidak menggembirakan. Berbagai penyebab telah
teridentifikasikan dan berbagai perbaikan telah dilakukan, tetapi hasilnya sama
saja. Tetap tidak memuaskan. Hal ini sering menjadi cibiran generasi tua yang
mendapat pendidikan bahasa kedua pada zaman Belanda dulu.
2.1.4.1. Sejarah Perkembangan Bahasa
Adanya pembelajaran bahasa sejak adanya interaksi antara dua
masyarakat atau lebih yang memiliki bahasa yang berbeda. Anggota sosial dari
masyarakat yang satu tentu akan mempelajari bahasa dari masyarakat yang lain
agar dapat berinteraksi dengan anggota masyarakat lain itu. Berabad-abad
lamanya pembelajaran bahasa berlangsung tanpa perubahan. Perubahan yang
berarti, dalam arti perubahan pandangan dan adanya inovasi baru dimulai tahun
1880. Menurut Nurhadi (1990) dalam sejarah perkembangannya ada empat
tahap penting yang dapat diamati sejak 1880 sampai dasawarsa 80-an. Tahap
pertama adalah periode antara 1880 – 1920. Pada tahap ini terjadi rekonstruksi
bentuk-bentuk metode langsung yang pernah digunakan atau dikembangkan
pada zaman Yunani dulu. Metode langsung yang pernah digunakan pada awal
abad-abad Masehi direkonstruksi dan diterapkan di sekolah-sekolah. Selain itu,
dikembangkan juga metode bunyi (phonetic method) yang juga berasal dari
Yunani. Tahap kedua adalah masa antara tahun 1920 – 1940. Pada masa ini di
Amerika dan Kanada terbentuk forum belajar bahasa asing yang kemudian
menghasilkan aplikasi metode-metode yang bersifat kompromi. Ini merupakan
perluasan dari tehnik-tehnik pengajaran membaca yang sudah ada, dikaitkan
dengan tujuan-tujuan pengajaran bahasa yang lebih khusus. Tahap ketiga,
adalah masa antara tahun 1940 – 1970, yang kemunculannya dilatarbelakangi
oleh situasi peperangan (Perang Dunia II), di mana orang berikhtiar mencari
metode belajar bahasa asing yang paling cepat dan efisien untuk dapat
berkomunikasi dengan pihak-pihak yang bertikai.
2.1.4.2. Asumsi Hipotesis Pembelajaran Bahasa
a. Hipotesis Kesamaan Antara Bahasa Pertama dan Bahasa Kedua
Hipotesis ini menyatakan adanya kesamaan dalam proses belajar
bahasa pertama dan belajar bahasa kedua. Kesamaan itu terletak pada urutan
pemerolehan struktur bahasa. Unsur kebahasaan tertentu akan diperoleh
terlebih dahulu, sementara unsur kebahasaan lain diperoleh baru kemudian.
b. Hipotesis Kontrastif
Hipotesis ini menyatakan bahwa kesalahan yang dibuat dalam belajar
bahasa kedua adalah karena adanya perbedaan antara bahasa pertama dan
bahasa kedua. Sedangkan kemudahan dalam belajar bahasa kedua disebabkan
oleh adanya kesamaan antara bahasa pertama dan bahasa kedua. Jadi, adanya
perbedaan antara bahasa pertama dan bahasa kedua akan menimbulkan
kesulitan dalam belajar bahasa kedua, yang mungkin juga akan menimbulkan
kesalahan, sedangkan adanya persamaan antara bahasa pertama dan bahasa
kedua akan menyebabkan terjadinya kemudahan dalam belajar bahasa kedua.
c. Hipotesis Krashen
Stephen Krashen mengajukan sembilan buah hipotesis yang saling
berkaitan, antara lain :
1). Hipotesis Pemerolehan (acquisition) dan Belajar (learning)
Penguasaan suatu bahasa perlu dibedakan adanya pemerolehan dan belajar.
Pemerolehan adalah penguasaan suatu bahasa melalui cara bawah sadar atau
alamiah dan terjadi tanpa kehendak yang terancang. Proses pemerolehan tidak
melalui usaha belajar yang formal dan eksplisit. Belajar adalah usaha sadar
untuk secara formal dan eksplisit menguasai bahasa yang dipelajari, terutama
yang berkenaan dengan kaidah-kaidah bahasa.
2). Hipotesis Urutan Alamiah
Hasil penelitian menunjukkan adanya pola pemerolehan unsur-unsur yang
relatif stabil untuk bahasa pertama, bahasa kedua, maupun bahasa asing.
3. Hipotesis Monitor
Menyatakan adanya hubungan antara proses sadar dalam pemerolehan
bahasa. Kita dapat berbicara dalam bahasa tertentu adalah karena sistem yang
kita miliki sebagai hasi dari pemerolehan, dan bukan dari hasil belajar. Semua
kaidah tata bahasa yang kita hafalkan tidak selalu membantu kelancaran
dalam berbicara. Kaidah tata bahasa yang kita kuasai ini hanya berfungsi
sebagai monitor saja dalam pelaksanaan (performansi) berbahasa.
4. Hipotesis Masukan
Seseorang menguasai bahasa melalui masukan (input) yang dapat dipahami
yaitu dengan memusatkan perhatian pada pesan atau isi, dan bukan pada
bentuk.
5. Hipotesis Afektif (Sikap)
Orang dengan kepribadian dan motivasi tertentu dapat memperoleh bahasa
kedua dengan lebih baik dibandingkan orang dengan kepribadian dan sikap
yang lain. Seseorang dengan kepribadian terbuka dan hangat akan lebih
berhasil dalam belajar bahasa kedua dibandingkan dengan orang yang
kepribadiannya agak tertutup.
6. Hipotesis Bakat
Bakat bahasa mempunyai hubungan yang jelas dengan keberhasilan belajar
bahasa kedua. Sikap secara langsung berhubungan dengan pemerolehan
bahasa kedua, sedangkan bakat berhubungan dengan belajar. Mereka yang
mendapat nilai tinggi dalam tes bakat bahasa, pada umunya berhasil baik
dalam tes tata bahasa.
7. Hipotesis Filter Afektif
Sebuah filter yang bersifat afektif dapat menahan masukan sehingga
seseorang tidak atau kurang berhasil dalam usahanya untuk memperoleh
bahasa kedua. Filter itu dapat berupa kepercayaan diri yang kurang, situasi
yang menegangkan, sikap defensif, dan sebagainya, yang dapat mengurangi
kesempatan bagi masukan untuk masuk ke dalam sistem bahasa yang dimiliki
seseorang.
8. Hipotesis bahasa Pertama
Bahasa pertama anak akan digunakan untuk mengawali ucapan dalam bahasa
kedua, selagi penguasaan bahasa kedua belum tampak. Jika seorang anak
pada tahap permulaan belajar bahasa kedua dipaksa untuk menggunakan atau
bebicara bahasa kedua, maka dia akan menggunakan kosakata dan aturan tata
bahasa pertamanya.
9. Hipotesis Variasi Indivuidual dalam Penggunaan Monitor
Cara seseorang memonitor penggunaan bahasa yang dipelajarinya ternyata
bervariasi. Ada yang terus-menerus menggunakannya secara sistematis, tetapi
ada pula yang tidak pernah menggunakannya. Namun, diantara keduanya ada
pula yang menggunakan monitor itu sesuai dengan keperluan atau
kesempatan untuk menggunakannya.
d. Hipotesis Bahasa Antara
Bahasa antara (interlanguage) adalah bahasa atau ujaran yang
digunakan seseorang yang sedang belajar bahasa kedua pada satu tahap
tertentu, sewaktu dia belum dapat menguasai dengan baik dan sempurna
bahasa kedua itu. Bahasa antara memiliki ciri bahasa pertama dan bahasa
kedua.
e. Hipotesis Pijinisasi
Menyatakan bahwa dalam proses belajar mengajar bisa saja selain
terbentuknya bahasa antara juga yang disebut bahasa pijin (pidgin), yaitu
sejenis bahasa yang digunakan oleh satu kelompok masyarakat dalam wilayah
tertentu yang berada di dalam dua bahasa tertentu. Bahasa pijin ini digunakan
untuk keperluan singkat dalam masyarakat yang masing-masing memiliki
bahasa sendiri. Jadi, bisa dikatakan bahasa pijin ini tidak memiliki penutur asli
(Chaer dan Agustina, 1995).
2.1.4.3. Faktor-Faktor Penentu dalam Pembelajaran Bahasa Kedua
Beberapa faktor yang berkaitan dengan keberhasilan pembelajaran
bahasa kedua :
a. Faktor Motivasi
Brown (1981), menyatakan bahwa motivasi adalah dorongan dari
dalam, dorongan sesaat, emosi atau keinginan yang menggerakkan seseorang
untuk berbuat sesuatu. Sedangkan menurut Lambert (1972), menyatakan
motivasi adalah alasan untuk mencapai tujuan secara keseluruhan.
Dalam kaitannya dengan pembelajaran bahasa kedua, motivasi itu
mempuinyai dua fungsi, yaitu
(1) Fungsi integratif adalah motivasi itu mendorong seseorang untuk
mempelajari suatu bahasa karena adanya keinginan untuk berkomunikasi
dengan masyarakat penutur bahasa itu atau menjadi anggota masyarakat
bahasa tersebut.
(2) Fungsi instrumental adalah motivasi itu mendorong seseorang untuk
memiliki kemauan untuk mempelajari bahasa kedua karena tujuan yang
bermanfaat atau karena dorongan ingin memperoleh suatu pekerjaan atau
mobilitas sosial pada lapisan atas mayarakat tersebut (Gardner dan
Lambert, 1972 : 3)
b. Faktor Usia
Dalam hal kecepatan dan keberhasilan belajar bahasa kedua, dapat
disimpulkan :
(1) Anak-anak lebih berhasil daripada orang dewasa dalam pemerolehan
sistem fonologi atau pelafalan.
(2) Orang dewasa maju lebih cepat daripada anak-anak dalam bidang
morfologi dan sintaksis.
(3) Anak-anak lebih berhasil daripada orang dewasa tetapi tidak selalu lebih
cepat.
(‘Oyama, 1976; Dulay, Burt, dan Krashen, 1982; Asher dan Gracia, 1969).
Disimpulkan bahwa, perbedaan umur mempengaruhi kecepatan dan
keberhasilan belajar bahasa kedua pada aspek fonologi, morfologi dan
sintaksis tetapi tidak berpengaruh dalam pemerolehan urutannya.
c. Faktor Penyajian Formal
Steiberg (1979 : 166), menyebutkan karakteristik lingkungan
pembelajaran bahasa kedua di kelas atas lima segi sebagai berikut :
(1) Lingkungan pembelajaran bahasa kedua di kelas sangat diwarnai oleh
fakor psikologi sosial kelas yang meliputi penyesuaian-penyesuaian,
disiplin, dan prosedur yang digunakan.
(2) Dilakukan preseleksi terhadap data linguistik, yang dilakukan guru
berdasarkan kurikulum yang digunakan.
(3) Disajikan kaidah-kaidah gramatikal secara eksplisit untuk meningkatkan
kualitas berbahasa siswa yang tidak dijumpai di lingkunagn alamiah.
(4) Disajikan data dan situasi bahasa yang artifisial (buatan), tidak seperti
dalam lingkungan kebahasaan alamiah.
(5) Disediakan alat-alat pengajaran seperti buku teks, buku penunjang, papan
tulis, tugas-tugas yang harus diselesaikan.
d. Faktor Bahasa Pertama
(1) Menurut teori stimulus-respon oleh kaum behaviorisme, bahasa adalah
hasil perilaku stimulus-respon. Apabila seorang pembelajar ingin
memperbanyak penggunaan ujaran, dia harus memperbanyak penerimaan
stimulus. Oleh karena itu peranan lingkungan sebagai sumber datangnya
stimulus menjadi dominan dan sangat penting di dalam membantu proses
pembelajaran bahasa kedua.
(2) Teori kontrastif menyatakan bahwa keberhasilan belajar bahasa kedua
sedikit banyaknya ditentukan oleh keadaan linguistik bahasa yang telah
dikuasi sebelumnya oleh si pembelajar (Klein, 1986 : 5). Berbahasa
kedua adalah suatu proses transferisasi. Maka, jika struktur bahasa yang
dikuasai (bahasa pertama) banyak mempunyai kesamaan dengan bahasa
yang dipelajari, akan terjadilah semacam pemudahan dalam pross
transferisasinya.
e. Faktor Lingkungan
Dulay (1985 : 14) menerangkan bahwa kualitas lingkungan bahasa
sangat penting bagi seorang pembelajar untuk dapat berhasil dalam
mempelajari bahasa baru (bahasa kedua). Lingkungan bahasa dapat
dibedakan atas :
(1) Lingkungan Formal yaitu salah satu lingkungan dalam belajar bahasa
yang memfokuskan pada penguasaan kaidah-kaidah bahasa yang sedang
dipelajari secara sadar (Dulay, 1985 : 19 dan Ellis, 1986 : 297).
Lingkungan bahasa mempunyai ciri : a). bersifat artifisial, b). merupakan
bagian dari keseluruhan pengajaran bahasa di sekolah atau di kelas dan
c). pembelajar diarahkan untuk melakukan aktivitas bahasa yang
menampilkan kaidah-kaidah bahasa yang dipelajarinya dan diberikan
balikan oleh guru dalam bentuk koreksi terhadap kesalahan yang
dilakukan oleh pembelajar.
(2) Lingkungan Informal bersifat alami atau natural, tidak dibuat-buat. Yang
termasuk lingkungan informal antara lain bahasa yang digunakan temanteman
sebaya, bahasa pengasuh atau orang tua, bahasa yang digunakan
anggota kelompok etnis pembelajar, yang digunakan media massa,
bahasa guru baik di kelas maupun di luar kelas. Dalam pembelajaran
bahasa kedua, bahasa penutur asing menurut Hatch (1983) dan Ellis
(1986) berperan sebagai a). pengembang komunikasi, b). pembentuk
ikatan batin dengan pembelajar dan c). sebagai model pembelajaran.
Dalam pembelajaran bahasa kedua, bahasa pertama dapat
mengganggu penggunaan bahasa kedua pembelajar. Pembelajar akan
cenderung mentransfer unsur bahasa pertamanya ketika melaksanakan
penggunaan bahasa kedua. Akibatnya terjadilah apa yang dalam kajian
sosiolinguistik disebut interferensi, campur kode, dan kekhilafan (error).
(Nababan, 1984)
2.1.5. Pembelajaran Bahasa Inggris
2.1.5.1. Pengertian Mata Pelajaran Bahasa Inggris
Bahasa Inggris adalah bahasa asing yang dianggap penting
diajarkan untuk tujuan penyerapan dan pengembangan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni budaya serta pengembangan hubungan antar bangsa
(Depdiknas, 2004 : 1).
Mata pelajaran Bahasa Inggris diajarkan di Sekolah Menengah
Pertama dianggap perlu oleh masyarakat di daerah yang bersangkutan dan
didukung oleh adanya guru yang berkemampuan untuk mengajarkan mata
pelajaran tersebut. Adapun pelaksanaan pengajaran Bahasa Inggris sebagai
mata pelajaran dapat mulai diajarkan pada kelas I SMP.
2.1.5.2.Fungsi Belajar Bahasa Inggris
Mata pelajaran Bahasa Inggris berfungsi sebagai wahana
pengembangan diri siswa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
budaya, sehingga pertumbuhan mereka tetap berkepribadian Indonesia.
Bahasa Inggris merupakan mata pelajaran Sekolah Menengah
Pertama kelas I, II dan III. Bahasa Inggris merupakan mata pelajaran yang
mengembangkan ketrampilan berkomunikasi lisan dan tulisan untuk
memahami dan mengungkapkan informasi, pikiran, perasaan serta
mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya. (Depdiknas, 2004 :
1)
2.1.5.3. Tujuan Belajar Bahasa Inggris
a) Mata pelajaran Bahasa Inggris di Sekolah Menengah Pertama bertujuan agar
siswa memiliki ketrampilan menyimak, membaca, memberikan pendapat dan
menulis secara baik.
b) Mata pelajaran Bahasa Inggris di Sekolah Menengah Pertama diajarkan
pengetahuan mengenai ragam bahasa dalam konteks sehingga para siswa
dapat menafsirkan isi berbagai bentuk teks lisan maupun tertulis dan
meresponnya dalam bentuk kegiatan yang beragam dan interaktif.
c) Alokasi waktu mata pelajaran Bahasa Inggris disediakan waktu 4 (empat) jam
pelajaran setiap minggu (disesuaikan dengan ketentuan sekolah setempat).
d) Pola pembinaan mata pelajaran Bahasa inggris di Sekolah Menengah Pertama
dikembangkan dengan menekankan keterpaduan dan keterkaitan (link and
match) antara keluarga, sekolah, dan masyarakat dengan memperhatikan
faktor bakat, minat dan kemampuan siswa.
e) Penilaian, tujuan penilaian adalah untuk mengukur tingkat keberhasilan siswa
dalam menguasai bahan pelajaran yang diberikan dalam kurun waktu tertentu.
Ada tiga cara dalam penilaian, yaitu test tertulis, test lisan, dan test perbuatan.
Sedangkan jenis penilaian terbagi atas penilaian harian (tiap pokok bahasan),
penilaian satuan bahasan (gabungan beberapa pokok bahasan), penilaian akhir
semester dan penilaian akhir tahun. (Depdiknas 2004 : 3)
2.1.5.4. Ruang Lingkup
Pembelajaran Bahasa Inggris di Sekolah Menengah Pertama
mencakup ketrampilan menyimak, berbicara, membaca dan menulis sederhana
dalam Bahasa Inggris. Penekanan pembelajaran pada ketrampilan berbicara
mengenai ungkapan-ungkapan yang ada hubungannya dengan lingkungan
siswa di rumah, di sekolah dan di masyarakat. Adapun ruang lingkup
pembelajaran muatan lokal Bahasa Inggris di Sekolah Menengah Pertama
meliputi ungkapan-ungkapan dan kalimat-kalimat sederhana mengenai :
(1) Sport (3) Clothes
(2) Health (4) City Life
Dari ruang lingkup tersebut, penyajian materi meliputi berbagai
indikator : mendengar (listening), bicara (speaking), membaca (reading),
menulis (writing). (Depdiknas, 2004)
Materi yang dipilih untuk diuji cobakan adalah materi health and
clothes. Pada materi ini siswa diharapkan mampu mencari makna gambar dan
kalimat dalam Bahasa Inggris dan menafsirkan hasilnya untuk memahami
tentang doctors, paramedics, diseases, kinds of clothes and making clothes
yang akan disesuaikan dengan menggunakan pendekatan CTL. Materi health
and clothes ini diterapkan kepada siswa dengan menggunakan pembelajaran
CTL yaitu siswa diminta untuk mengadakan diskusi dengan memahami
gambar dan teks secara kelompok serta mendengar bacaan dari guru
(listening), setelah itu disuruh untuk mengevaluasi sendiri bagaimana kegiatan
yang telah dilakukan oleh siswa tersebut.
Tabel 1.1 :
Kurikulum Mata Pelajaran Bahasa Inggris Kelas II SMP
No. Mata Pelajaran
Jumlah
Jam /
Minggu
1.
Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan
2
2. Pendidikan Agama 2
3. Bahasa Indonesia 6
4. Matematika 6
5. Ilmu Pengetahuan Alam ( IPA ) 6
6. Ilmu Pengetahuan Sosial ( IPS ) 6
7. Kerajinan Tangan dan Kesenian 2
8. Pendidikan Jasmani dan Kesehatan 2
9. Bahasa Inggris 4
10. Muatan Lokal ( Sejumlah Mata Pelajaran ) 6
Jumlah Jam / Minggu 42
Keterangan :
Lamanya 1 jam pelajaran untuk kelas I1 adalah 45 menit ( GBPP SMP Kelas II
)
2.1.6. 2.1.5.5. Pembelajaran Bahasa Inggris di Sekolah dengan di Kursus
Belajar Bahasa Inggris di sekolah Dasar dan Menengah
memenuhi dua tujuan. Pertama, siswa perlu menyiapkan diri agar bisa
membaca buku teks dalam bahasa Inggris di tingkat perguruan tinggi. Kedua,
kemampuan berbahasa Inggris masih digunakan sebagai faktor penentu guna
mendapatkan pekerjaan dan imbalan menarik. Tetapi, meskipun anak sudah
belajar Bahasa Inggris selama bertahun-tahun di sekolah, umumnya
kompetensi dalam bahasa ini di kalangan lulusan sekolah menengah secara
umum masih tergolong sangat rendah.
Kurikulum 2004 berkeinginan membangun siswa untuk mampu
berkomunikasi dalam Bahasa Inggris. Siswa perlu memahami dan
menggunakan Bahasa Inggris untuk mengembangkan rasa percaya diri dan
memiliki kompetensi dalam berbahasa tersebut, sehingga dapat memenuhi
tuntutan lingkungan sekolah, pekerjaan, dan pendidikan selanjutnya. Dengan
kurikulum tersebut, hasil yang ingin dicapai ialah para siswa yang mampu
menguasai Bahasa Inggris secara aktif serta memiliki wawasan yang luas.
Ketidakmampuan sekolah mengajarkan bahasa asing, terutama
Bahasa Inggris mendorong munculnya kursus – kursus bahasa. Mulai dari
kursus yang dikelola perwakilan resmi negara asing seperti The British
Council, Goethe Institut, Netherlands Education Centre (NEC), sampai kursus
privat milik perseorangan. Sementara sekolah – sekolah secara de fakto masih
mengacu pada pengajaran tata bahasa dan hafalan aturan bahasa, kursus-kursus
justru menekankan ketrampilan berbicara yang mampu mengungkapkan
pendapat dan pikirannya. Beberapa kursus tidak segan-segan mempromosikan
program “lancar berbicara dalam tiga bulan” untuk menarik konsumen. Bahkan
untuk mempercepat ketrampilan berbicara, beberapa kursus menyediakan guru
penutur asli (native speaker). Pada kenyataannya, mayoritas kursus Bahasa
Inggris ditujukan untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris dalam
kehidupan sehari – hari, bukan untuk tujuan lain. Tidak untuk mengejar nilai
atau prestasi tetapi untuk memenuhi kebutuhan pelipatgandaan intelegensi
yang belum bisa dipenuhi di sekolah, oleh karena itu cara belajar eksperimental
tidak sekadar duduk, dengar, catat, pasti ditekankan. Aktivitas di luar ruangan,
seperti kemah, tinggal di rumah penduduk, mendengarkan kaset dan menonton
film perlu diperkenalkan. “Belajar harus ada unsur menyenangkan, bukan
paksaan, “tutur Gerda K. Wanei, Ketua Jurusan Bimbingan konseling Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta.
(Kompas, 8 Juli 2004)
Bobot penilaian saat ujian pun amat berbeda dengan yang terjadi
di sekolah. Di kursus, kemampuan membaca, mendengarkan, menulis dan
berbicara mendapat bobot paling tinggi sementara gramatika dianggap sebagai
penunjang. Pendekatan yang berbeda ini mampu melahirkan pembelajar bahasa
yang fasih berbahasa asing.
Proses pembelajaran bahasa asing mencakup dua hal yang
seharusnya saling menunjang, yaitu ketepatan dan kelancaran (accurancy dan
fluency). Pengajaran di sekolah formal terlalu menekankan ketepatan.
Meskipun kurikulum Bahasa Inggris telah berganti beberapa kali, kenyatannya
siswa tetap saja menghafalkan daftar panjang kata kerja beraturan dan tidak
beraturan tanpa konteks dan rumusan sekian banyak tenses. Penekanan
berlebihan pada ketepatan berbahasa ternyata bukan hanya penghambat
kelancaran berkomunikasi tetapi juga mematikan rasa senang dan motivasi
belajar.
Sebaliknya di jalur informal (kursus), kelancaran berkomunikasi
dijadikan fokus. Secara ekstrem kursus yang menjajikan “lancar berbicara
dalam tiga bulan” akan mengabaikan ketepatan aturan berbahasa (struktur
bahasa, pelafalan, dan kosakata). Berbeda dengan kegiatan pembelajaran di
sekolah formal, aktivitas belajar bahasa asing di kursus dibuat menarik dan
menyenangkan. Ada banyak permainan dan kesempatan untuk menggunakan
bahasa asing. Tetapi memang mustahil mengajar seseorang untuk bisa lancar
berbahasa asing dalam waktu singkat.
a. Masalah – Masalah dalam Pengajaran Bahasa Inggris di Sekolah
1. Kurangnya guru berbicara dengan Bahasa Inggris di dalam kelas.
2. Pelajaran terlalu menekankan pada tata bahasa bukan pada percakapan,
tetapi siswa kurang diberi arahan mengenai bagaimana dan apa fungsi dari
unsur – unsur tata bahasa yang mereka pelajari.
3. Kosa kata yang diberikan kurang berguna (bersifat teknis) dalam
percakapan sehari – hari.
4. Sering terjadi pengulangan materi pelajaran Bahasa Inggris.
b. Kegiatan Belajar Mengajar di Sekolah
Sistem pengelolaan kurikulum 2004 menuntut kegiatan belajar mengajar
yang memberdayakan semua potensi peserta didik untuk menguasai
kompetensi yang diharapkan. Pemberdayaan ini diarahkan untuk mendorong
individu belajar sepanjang hayat dan mewujudkan masyarakat belajar yang
dilandasi oleh prinsip-prinsip, antara lain :
1) Berpusat pada peserta didik
2) Mengembangkan kreativitas peserta didik
3) Menciptakan kondisi menyenangkan dan menantang
4) Mengembangkan beragam kemampuan yang bermuatan nilai
5) Menyediakan pengalaman belajar yang beragam
6) Belajar melalui berbuat
Pelaksanaannya diwujudkan dengan menerapkan berbagai strategi dan
metode pembelajaran yang efektif, kontekstual dan bermakna. Untuk
mengembangkan dan meningkatkan kompetensi, kreativitas, kemandirian,
kerjasama, solidaritas, kepemimpinan, empati, toleransi dan kecakapan hidup
pesert didik.
2.2. Konsep Contextual Teaching and Learning
2.2.1. Latar Belakang CTL
Sejauh ini pendidikan kita masih didominasi oleh pandangan
bahwa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihafal. Kelas
berfokus pada guru sebagai sumber pengetahuan utama, kemudian ceramah
sebagai pilihan utama strategi belajar. Maka perlu strategi baru yang lebih
memberdayakan siswa, sebuah pendekatan pembelajaran yang tidak
mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta tetapi mendorong siswa
mengkonstruksi pengetahuannya sendiri.
Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran
bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar
akan lebih bermakna jika anak “mengalami” apa yang yang dipelajarinya,
bukan mengetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan
materi terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat jangka pendek, tetapi gagal
dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka
panjang.
Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning)
merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang
diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Proses
pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan
mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi
pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. Siswa perlu mengerti apa
makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka dan bagaimana
mencapainya. Dalam upaya pencapaiannya, mereka memerlukan guru sebagai
pengarah dan pembimbing.
Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa
mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi
daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim
yang bekerjasama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas
(siswa). Sesuatu yang baru (pengetahuan dan ketrampilan) datang dari
‘menemukan sendiri’, bukan dari ‘apa kata guru’. Kontekstual hanyalah sebuah
strategi pembelajaran. Seperti halnya strategi pembelajaran yang lain,
kontekstual dikembangkan dengan tujuan agar pembelajaran berjalan lebih
produktif dan bermakna. Pendekatan kontekstual dapat dijalankan tanpa harus
mengubah kurikulum dan tatanan yang ada.
Melalui landasan filosofi konstruktivisme, pendekatan
kontekstual (CTL) dipromosikan menjadi alternatif strategi belajar yang baru.
Melalui strategi CTL siswa diharapkan belajar melalui ‘mengalami’ bukan
‘menghafal’.
2.2.1.1. Landasan Teoritis
Contextual Teaching and Learning memiliki landasan yang kuat dan
merupakan hasil penelitian di alam psikologi pendidikan dan psikologi sosial,
antara lain :
a. Sains Kognitif :
1) Semua proses belajar terjadi dari pengetahuan dan pengalaman yang telah
diperoleh sebelumnya.
2) Pengetahuan dikonstruksi dalam berbagai ragam konteks untuk diterapkan
pada konteks yang baru.
b. Konstruktivisme
1) Struktur pengetahuan setiap orang berbeda dengan struktur pengetahuan
orang lain, setiap pengetahuan masing-masing individu dibentuk secara
unik oleh pengalaman hidup dan pilihan-pilihan individu.
2) Seseorang mengkonstruksi pengetahuannya di dalam struktur dan melalui
interaksi sosial.
3) Pengetahuan yang dimiliki oleh individu atau masyarakat tidak statis.
c. Teori motivasi : Belajar amat efektif bila dimotivasi oleh keberhasilan dalam
melaksanakan tugas.
d. Teori Kecerdasan Ganda
1) Setiap orang belajar dan mencapai sesuatu secara berbeda. Perbedaan ini
antara lain kecepatan belajar atau banyaknya belajar yang dapat
dikuantifikasi dalam skala linier.
2) Seseorang memiliki dan mengembangkan ketrampilan dan bakat yang
berbeda serta bernilai sama.
3) Pengetahuan yang dimiliki oleh individu atau masyarakat tidak statis.
2.2.2. Hakekat Pembelajaran CTL
Pembelajaran konstektual ( Contextual Teaching and Learning )
adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang
diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupan mereka sehari-hari. Sesuai dengan mottonya yang berbunyi : Student
Learn Best By Actively Constructing Their Own Understanding (CTL Academy
Fellow, 1999)
(Cara belajar terbaik adalah siswa mengkonstruksikan sendiri secara aktif
pemahamannya)
2.2.2.1. Ditinjau dari pemikiran tentang belajar
1. Proses Belajar
Belajar tidak sekedar menghafal tetapi harus mengkonstruksikan
pengetahuan
Belajar dari mengalami, dan bermakna bukan sekedar diberi
oleh guru
Pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang itu terorganisasi dan
mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu
persoalan (subyect matter)
Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta
atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan ketrampilan
yang dapat diterapkan
Manusia mempunyai tingkatan yang berbeda dalam mensikapi
situasi baru
Dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang
berguna, dan bergelut dengan ide-ide
Proses belajar dapat mengubah struktur otak yang berpengaruh
pada perilaku
2. Transfer Belajar
Belajar dari “mengalami”, bukan dari ‘pemberian’
Ketrampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang
terbatas (sempit), sedikit demi sedikit
Tahu untuk apa ia belajar, dan bagaimana menggunakan
pengetahuan dan keterampilan itu
3. Siswa sebagai Pembelajar
Ada kecenderungan untuk belajar hal baru dengan cepat
Hal-hal yang sulit perlu strategi belajar
Peran guru membantu menghubungkan antar “yang baru” dan
yang sudah diketahui
Tugas guru sebagai fasilitator agar informasi baru bermakna,
siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri
4. Pentingnya Lingkungan Belajar
Belajar berpusat pada siswa
Strategi belajar lebih dipentingkan dibanding hasilnya
Proses penilaian (assessment) yang benar, sebagai umpan balik
Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok
2.2.2.2. Lima Elemen Pembelajaran Konstektual
( Zahorik, 1995, 14 – 22 )
1. Activating Knowledge
Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada
2. Acquiring Knowledge
Pemerolehan pengetahuan baru dengan cara mempelajari secara keseluruhan, kemudian
memperlihatkan detailnya
3. Understanding knowledge
Pemahaman pengetahuan dengan cara menyusun:
a. Konsep sementara / hipotesis
b. Melakukan sharing kepada orang lain agar mendapat tanggapan /
validasi
c. Konsep tersebut direvisi & dikembangkan
4. Applying Knowledge
Mempraktekkan pengetahuan & pengalaman
5. Reflecting Knowledge
Melakukan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan
2.2.3. Konsep Dasar CTL
Konsep dasar pembelajaran kontekstual adalah pendekatan dalam
pembelajaran dengan kegiatan mengajar dari guru yang menghubungkan
materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata dan kegiatan belajar yang
memotivasi siswa agar menghubungkan dan menerapkan pengetahuannya pada
kehidupan sehari-hari sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
Langkah-langkah penerapan CTL secara garis besar adalah
sebagai berikut :
a. Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara
bekerja sendiri, menemukan sendiri dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan
dan ketrampilan barunya.
b. Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiri untuk semua topik.
c. Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.
d. Ciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok-kelompok).
e. Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran.
f. Lakukan refleksi di akhir pertemuan.
g. Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.
2.2.4. Pembelajaran CTL di Kelas
CTL dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa
saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya. Pendekatan CTL memiliki
tujuh komponen utama yaitu :
1. Konstruktivisme (Constructivism)
Constructivism merupakan landasan berfikir (filosofi) pendekatan CTL,
yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang
hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyongkonyong.
Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah
yang siap untuk diambil dan diingat. Siswa dibiasakan untuk memecahkan
masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan
ide-ide. Guru tidak akan mampu mengkonstruksikan semua pengetahuan
kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka
sendiri. Esensi dari teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus
menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain,
dan apabila dikehendaki informasi itu menjadi milik mereka sendiri.
Dalam pandangan konstruktivis, strategi memperoleh lebih diutamakan
dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan.
Untuk itu tugas guru adalah menfasilitasi proses tersebut dengan :
a. menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa
b. memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri
c. menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar
2. Menemukan (Inquiri)
Pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan
hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri.
Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan
menemukan, apapun materi yang diajarkannya.
Siklus inkuiri :
Observasi (Observation)
Bertanya (Questioning)
Mengajukan Dugaan (Hipotesis)
Mengumpulkan Data (Data Gathering)
Penyimpulan (Conclussion)
3. Bertanya (Questioning)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari bertanya.
Bertanya merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis CTL. Bertanya
dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong,
membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa, kegiatan
bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang
berbasis inquiri, yaitu menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah
diketahui dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya.
Dalam sebuah pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna
untuk :
(1) menggali informasi, baik administrasi maupun akademis
(2) mengecek pemahamn siswa
(3) membangkitkan respon kepada siswa
(4) mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa
(5) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa
(6) memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru
(7) untuk membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa
(8) untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa
Hampir pada semua aktivitas belajar, questioning dapat diterapkan antara
siswa dengan siswa, antara guru dengan siswa, antara siswa dengan guru,
antara siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas, dan sebagainya.
Aktivitas bertanya juga ditemukan ketika siswa berdiskusi, bekerja dalam
kelompok ketika menemui kesulitan, ketika mengamati, dan sebagainya.
4. Masyarakat Belajar (Learning Community)
Dalam kelas CTL guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran
dalam kelompok-kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok
yang anggotanya heterogen. Yang pandai mengajari yang lemah, yang tahu
memberi tahu yang belum tahu, yang cepat menangkap mendorong temannya
yang lambat, yang mempunyai gagasan segera memberi usul, dan seterusnya.
Kelompok siswa bisa sangat bervariasi bentuknya, baik keanggotaan, jumlah,
bahkan bisa melibatkan siswa di kelas atasnya, atau guru melakukan kolaborasi
dengan mendatangkan seorang ahli ke kelas.
“Masyarakat belajar” bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua
arah. “Seorang guru yang mengajari siswanya” bukan contoh masyarakat
belajar karena komunikasi hanya terjadi satu arah, yaitu informasi hanya
datang dari guru ke arah siswa, tidak ada arus informasi yang perlu dipelajari
guru yang datang dari arah siswa. Dalam contoh ini yang belajar hanya siswa
bukan guru.
Kalau setiap orang mau belajar dari orang lain, maka setiap orang lain
bisa menjadi sumber belajar, dan ini berarti setiap orang akan sangat kaya
dengan pengetahuan dan pengalaman. Metode pembelajaran dengan tehnik
“learning community” ini sangat membantu proses pembelajaran di kelas.
Prakteknya dalam pembelajaran terwujud dalam :
Pembentukan kelompok kecil
Pembentukan kelompok besar
Mendatangkan ahli ke kelas (tokoh, olahragawan, dokter, dan sebagainya)
Bekerja dengan kelas sederajat
Bekerja kelompok dengan kelas di atasnya
Bekerja dengan masyarakat
5. Pemodelan (Modeling)
Dalam sebuah pembelajaran ketrampilan atau pengetahuan tertentu, ada
model yang bisa ditiru. Model itu berupa cara mengoperasikan sesuatu, cara
melempar bola dalam olah raga, contoh : karya tulis, cara menghafal bahasa
Inggris, dan sebagainya. Atau guru memberi contoh cara mengerjakan sesuatu.
Dengan begitu, guru memberi model tentang bagaimana cara belajar.
Model juga dapat didatangkan dari luar. Seorang penutur asli berbahasa
Inggris sekali waktu dapat dihadirkan di kelas untuk menjadi model cara
berujar, cara bertutur kata, gerak tubuh ketika berbicara, dan sebagainya.
6. Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berfikir tentang apa yang baru dipelajari atau
berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan di masa yang
lalu. Siswa mengendapkan dengan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur
pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari
pengetahuan sebelumnya. Kunci dari semua itu adalah, bagaimana
pengetahuan itu mengendap di benak siswa. Siswa mencatat apa yang sudah
dipelajari dan bagaimana menerapkan ide-ide baru.
Pada akhir pembelajaran guru menyisakan waktu sejenak agar siswa
melakukan refleksi. Realisasinya berupa :
Pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya hari itu,
Catatan atau jurnal di buku siswa,
Kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu,
Diskusi,
Hasil karya.
7. Penilaian Yang Sebenarnya (Authentic Assessment)
Penilaian authentic adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa
memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan
belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa
mengalami proses pembelajaran dengan benar. Kemacetan belajar siswa harus
diketahui sejak awal dengan cara mengidentifikasi data. Hal ini dilakukan
supaya siswa terbebas dari kemacetan belajar.
7.1 Karakteristik authentic assessment :
Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran
berlangsung
Digunakan untuk formatif muapun sumatif
Berkesinambungan
Terintegrasi
Dapat digunakan sebagai feed back
7.2 Hal-hal yang dapat digunakan untuk penilaian :
1. Proyek kegiatan dan laporannya
2. Pekerjaan rumah
3. Kuis
4. Karya siswa
5. Presentasi atau penampilan siswa
6. Demonstrasi
7. Laporan
8. Jurnal
9. Hasil tes tulis
10. Karya tulis
7.3 Karakterisrtik pembelajaran berbasis CTL adalah sebagai berikut :
1. Kerja sama
2. Saling menunjang
3. Menyenangkan, tidak membosankan
4. Belajar dengan bergairah
5. Pembelajaran terintegrasi
6. Menggunakan berbagai sumber
7. Siswa aktif
8. Sharing denga teman
9. Siswa kritis, guru kreatif
10. Dinding kelas dan lorong-lorong penuh dengan hasil karya siswa,
peta-peta, gambar, artikel, humor, dan lain-lain
11. Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor, tetapi hasil karya siswa,
laporan hasil praktikum, karangan siswa dan lain-lain
Tabel 1.2. :
Perbedaan Pendekatan Kontekstual dengan Pendekatan Konvensional
No PENDEKATAN CTL PENDEKATAN
KONVENSIONAL
1 Siswa aktif terlibat Siswa penerima informasi
2 Belajar dengan kerja sama Belajar individual
3 Berkait dengan kehidupan nyata Abstrak dan teoritis
4 Perilaku dibangun atas
kesadaran diri
Perilaku dibangun atas kebisaan
5 Keterampilan dikembangkan
atas dasar pemahaman
Keterampilan dikembangkan atas
dasar latihan
6 Memperoleh kepuasan diri Memperoleh pujian atau nilai saja
7 Kesadaran tidak melakukan
yang jelek tumbuh dari dalam
Tidak melakukan yang jelek
karena takut hukuman
8 Bahasa diajarkan dengan
pendekatan komunikatif,
digunakan dalam konteks nyata
Bahasa diajarkan dengan
pendekatan struktural, kemudian
dilatihkan
9 Pemahaman Rumus
dikembangkan berdasarkan
skemata yang telah ada dalam
diri siswa
Rumus berada di luar diri siswa
yang harus diterangkan, diterima,
dihafal dan dilatihkan
10 Pemahaman rumus relatif
berbeda
Rumus adalah kebenaran absolut
11 Siswa aktif, kritis, bergelut
dengan ide
Siswa pasif hanya menerima
tanpa kontribusi ide
12 Pengetahuan dibangun dari Pengetahuan dibangun dari fakta,
kebermaknaan konsep atau hukum
13 Pengetahuan selalu berkembang
sejalan dengan fenomena baru
Kebenaran bersifat absolut dan
pengetahuan bersifat final.
14 Siswa bertanggung jawab
memonitor dan mengembangkan
pembelajaran
Guru adalah penentu jalannya
proses pembelajaran
15 Pengahargaan terhadap
pengalaman siswa sangat
diutamakan
Pembelajaran tidak
memperhatikan pengalaman
16 Hasil belajar diukur dengan
prinsip Alternative Assessment
Hasil belajar hanya diukur dengan
tes
17 Pembelajaran terjadi di berbagai
tempat, konteks dan setting
Pembelajaran hanya terjadi di
dalam kelas
18 Penyesalan adalah hukuman dari
perilaku jelek
Sanksi adalah hukuman dari
perilaku jelek
19 Perilaku baik berdasar motivasi
instrinsik
Perilaku baik berdasar motivasi
ekstrinsik
20 Berperilaku baik karena dia
yakin itulah yang terbaik dan
bermanfaat.
Berperilaku baik karena terbiasa
melakukan begitu, dan karena
mendapat hadiah
B. HIPOTESIS
Hipotesis penelitian ini yaitu :
“Siswa yang menempuh proses belajar mengajar dengan model
pembelajaran CTL hasil belajarnya lebih baik daripada siswa yang
menempuh proses belajar mengajar dengan menggunakan model
pembelajaran konvensional”.
Oleh karena itu dalam penelitian ini hipotesis penelitian (Hi)
yang berbunyi “Siswa yang menempuh proses belajar mengajar
dengan model pembelajaran CTL hasil belajarnya lebih baik daripada
siswa yang menempuh proses belajar mengajar dengan menggunakan
model pembelajaran konvensional” harus diubah terlebih dahulu ke
dalam hipotesis nihil (Ho) yang berbunyi “Siswa yang menempuh
proses belajar mengajar dengan model pembelajaran CTL hasil
belajarnya tidak berbeda dari siswa yang menempuh proses belajar
mengajar dengan model pembelajaran konvensional”.
BAB III
METODE PENELITIAN
Berdasarkan klasifikasi menurut metodenya, penelitian ini adalah penelitian
eksperimen (Ruseffendi dan Achmad Sanusi, 1994 : 27-32), penelitian yang
benar-benar untuk melihat hubungan sebab akibat. Peneliti melakukan
perlakuan terhadap variabel bebas (paling tidak sebuah) dan mengamati
perubahan yang terjadi pada satu variabel terikat atau lebih.
3.1 Obyek Penelitian
3.1.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas II-B dan II-F SMP
Negeri 1 Brangsong Kendal masing – masing kelas sebanyak 48 siswa.
Jumlah seluruhnya adalah 96 siswa.
3.1.2. Sampel
Berdasarkan sifat populasi di atas, maka sampel penelitian ini adalah
sebagian dari siswa kelas II-B dan II-F Tahun Ajaran 2004/2005.
Sampel dalam penelitian ini menggunakan dua kelompok, masing-masing
sebagai kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Setiap kelompok
terdiri dari 20 siswa. Jumlah seluruhnya adalah 40 siswa. Pengambilan
sampel berdasarkan teknik cluster random sampling (sampel acak
berkelompok) dan tidak secara individu terhadap siswa melainkan
kelompok siswa dalam satu kelas (Sugiarto, 2001 : 73).
3.1.3. Definisi Operasional Variabel
1. Efektivitas : dalam penelitian ini efek yang ditimbulkan akibat yang
berarti adanya daya guna dan membawa hasil di dalam penggunaan
pendekatan Contextual Teaching and Learning pada pembelajaran
Bahasa Inggris (Poerwadarminta, 1980 : 250).
2. Pendekatan Kontekstual ( Contextual Teaching and Learning ) : konsep
belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya
dengan dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan
antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupan mereka sehari-hari sebagai anggota keluarga dan masyarakat
(Johnson, Elaine : 1996)
3. Bahasa Inggris : mata pelajaran yang digunakan sebagai wahana untuk
meningkatkan interaksi global yang memerlukan bahasa sebagai alat
berkomunikasi. Penguasaan Bahasa asing menjadi lebih penting. Secara
individual, penguasaan bahasa asing menjadi salah satu modal utama
keunggulan kompetitif, dan oleh karena itu penguasaan bahasa asing
menjadi salah satu ciri sumber daya manusia yang berkualitas ( Huda,
1999 : 405 ).
4. Kesulitan belajar Bahasa Inggris : ketidak berhasilan seseorang mencapai
taraf kualifikasi belajar tertentu (berdasarkan ukuran kriteria keberhasilan
seperti dinyatakan dalam tujuan instruksional khusus atau ukuran
kemampuan dalam program pengajaran) khususnya dalam mata pelajaran
Bahasa Inggris.
3.2 Metode Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data dari variabel-variabel penelitian yang akan diteliti
digunakan metode pengumpulan data sebagai berikut :
a. Metode Dokumentasi
Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data nama dan jumlah siswa kelas
II-B dan II-F.
b. Metode Tes
Dalam menggunakan metode tes ini, peneliti menggunakan instrumen berupa
tes atau soal-soal tes. Metode ini digunakan untuk memperoleh data tentang
berapa besar pengaruh penerapan CTL terhadap hasil belajar siswa yang
mengalami kesulitan belajar Bahasa Inggris.
c. Metode Observasi
Metode observasi ini digunakan sebagai penunjang dalam melakukan suatu
penelitian. Metode ini juga digunakan untuk memperoleh keterangan tentang
keberhasilan pendekatan CTL yang akan diterapkan.
3.3 Desain Eksperimen
Dalam penelitian ini penulis menggunakan desain eksperimental yang
sebenarnya/eksperimen sungguhan dengan pola randomized control – group pre
test – post test design. Dalam rancangan ini sekelompok subyek yang diambil dan
populasi tertentu dikelompokkan secara rambang menjadi dua kelompok yaitu
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen dikenai
variabel perlakuan tertentu dalam jangka waktu tertentu, lalu kedua kelompok ini
dikenai pengukuran yang sama, lalu dibandingkan hasilnya. Perbedaan yang
timbul dianggap bersumber pada variabel perlakuan (Rachman, 1996 : 53).
Desain eksperimen pola Randomized Control-Group Pretest-Posttest Design dapat digambarkan sebagai
berikut :
Group Pre Test Treatment Post Test
E
K
T1
T1
X
T2
T2
Gb 01. Desain Eksperimen pola Randomized Control-Group Pretest-Posttest
Design
Sumber : Suryabrata (1998 : 45).
Keterangan :
E = Group eksperimen
K = Group kontrol
T1 = Soal pre test
X = Pengajaran dengan menggunakan pendekatan CTL
T2 = Soal post test
Kelompok eksperimen (E) maupun kelompok kontrol (K) sebelum melakukan
penelitian melakukan pre test terlebih dahulu untuk mengetahui apakah hasil
dari pre test (T1) tersebut sama atau berbeda. Setelah itu baru kelompok
eksperimen diberi suatu perlakuan khusus (Treatment) sedangkan kelompok
kontrol tidak diberi perlakuan. Setelah itu baru kedua kelompok baik
eksperimen maupun kontrol diberi post test (T2). Setelah itu baru dapat
diketahui apakah pengajaran dengan model CTL lebih baik atau tidak.
Eksperimen yang dilakukan dalam penelitian ini adalah proses pembelajaran
bidang studi Bahasa Inggris yang dilakukan di kelas II-F SMP Negeri 1
Brangsong Kendal yang diberi perlakuan dengan menggunakan model
pembelajaran CTL yang seterusnya disebut sebagai kelompok eksperimen,
sedangkan 1 kelas yang lain sebagai kelompok kontrol tanpa diberi perlakuan
apapun dengan menggunakan model pembelajaran konvensional yang dalam hal
ini menggunakan kelas II-B SMP Negeri 1 Brangsong Kendal.
3.4 Matching dan Kontrol
3.4.1. Matching
Skor awal siswa yang berupa skor pre-test dari masing – masing kelas
diurutkan dari nilai tertinggi hingga terendah, kemudian diambil secara
berpasangan. Siswa yang skornya tidak mendapat pasangan tidak diambil.
Pengambilan siswa dari kelompok pasangan yang berlebih dilakukan secara acak.
Jumlah tiap-tiap kelompok sebanyak 20 siswa. Penentuan menjadi kelompok
eksperimen atau kelompok kontrol dilakukan secara acak Aspek yang dimatching
yaitu nilai pre-test siswa yang telah diketahui nilainya lalu dilakukan secara acak
untuk menentukan sampel penelitian yang rata-ratanya hampir sama dan sebagian
pendukung yaitu jenis kelamin siswa yang dalam penelitian ini 10 putra dan 10
putri baik itu kelompok kontrol maupun kelompok eksperimen. Dengan cara
tersebut dipenuhi persyaratan bahwa kedua kelompok berangkat dari kondisi yang
sama, sehingga perbedaan hasil kedua kelompok tersebut akibat adanya
perlakuan.
3.4.2. Kontrol
Kontrol terhadap kelompok dalam penelitian ini digunakan prosedur
pengambilan secara acak dengan matching kelompok. Sedangkan kontrol terhadap
variabel ekstra dilakukan terhadap peristiwa khusus, kematangan, pre-test,
instrument pengukur regresi statistika, perbedaan memilih subjek, kehilangan,
interaksi kematangan dan seleksi (Sudjana, 2001 : 22).
3.5. Metode Penyusunan Instrumen
3.5.1. Instrumen Penelitian
Sesuai dengan permasalahan dan variabel yang akan diuji dalam
penelitian ini instrumen yang digunakan adalah jenis tes yakni tes hasil belajar.
Bentuk tes yang digunakan adalah tes buatan guru (tidak baku) dengan bentuk tes
objektif yang telah diuji tingkat validitas, reliabilitas, taraf kesukaran dan daya
pembeda.
Selain itu karena peneliti perlu mendeskripsikan proses pembelajaran
dengan menggunakan model pendekatan CTL, instrumen non tes digunakan untuk
mendeskripsikan proses pembelajaran yang menggunakan model CTL yaitu
berupa observasi.
3.5.2. Uji Coba Instrumen
Sebelum diujikan pada kelas subyek penelitian, soal terlebih dahulu
diuji cobakan pada kelas lain. Tujuan uji coba dalam penelitian ini adalah untuk
memperoleh butir tes yang masuk dalam kategori baik dan bisa dipakai untuk
penelitian dengan mengetahui reliabilitas, validitas, indeks kesukaran, dan daya
pembeda soal. Adapun responden yang dipilih adalah siswa kelas II-A SMP
Negeri 1 Brangsong Kendal. Pemilihan kelas II-A SMP Negeri 1 Brangsong
Kendal sebagai responden uji coba didasarkan atas pertimbangan bahwa kelas II
di SMP Negeri 1 tersebut juga memiliki kesetaraan atau kesamaan karakteristik
dengan subyek penelitian.
3.5.3. Analisis Perangkat Tes
Instrumen penelitian ini menggunakan tes objektif. Agar dalam
penelitian memunyai kualitas tinggi, maka instrumen yang digunakan harus
memenuhi syarat-syarat sebagai alat pengukur yang baik. Dalam hal ini instrumen
berupa soal-soal tes, syarat-syarat yang dimaksud terdiri dari :
(1) Analisis Validitas
Pemenuhan validitas logis (validitas berdasarkan logika atau penalaran)
dilakukan sejak penyusunan instrumen. Soal-soal tes disusun berdasarkan materi
pelajaran dan kurikulum yang berlaku di sekolah (Arikunto, 2001 : 65-68). Dalam
penelitian ini, jenis validitas empiris yang dicari adalah validitas item. Sebuah
item dikatakan valid apabila mempunyai dukungan yang besar terhadap skor total.
Skor pada item tersebut menyebabkan skor total menjadi tinggi atau rendah.
Sebuah sistem akan mempunyai validitas yang tinggi apabila skor pada item
tersebut mempunyai kesejajaran dengan korelasi dan untuk mengetahui validitas
item digunakan korelasi (Arikunto, 2001 : 76).
Dalam hal ini digunakan rumus korelasi Biserial yaitu :
Keterangan :
rpbis = Koefisien korelasi biserial
Mp = Rata-rata skor total yang menjawab benar pada butir soal
Mt = Rata-rata skor total
St = Standart deviasi skor total
p = Proporsi siswa yang menjawab benar pada setiap butir soal
q = Proporsi siswa yang menjawab salah pada setiap butir soal
Setelah diperoleh harga rpbis dikonsultasikan dengan tabel nilai r product
moment. Dengan taraf signifikansi tertentu, jika harga rpbis > rtabel maka perangkat
tes tersebut valid. Sedang item soal yang tidak valid tidak digunakan dalam
penelitian. (Suharman, 1990 : 163).
Dari hasil data pada lampiran 5 contoh perhitungan validitas butir soal terdapat
pada lampiran 6. Pertanyaan nomor 1 diperoleh hasil rpbis = 0,788. Hasil
tersebut kemudian dikonsultasikan pada tabel nilai r product moment. Dari
tabel nilai r product moment diperoleh nilai 0,444. Berdasarkan data tersebut
diketahui bahwa harga rpbis lebih besar daripada rtabel, maka soal tersebut valid.
q
p
S
M M
r
t
p t
pbis

=
Langkah untuk mencari koefisien korelasi pertanyaan instrumen nomor 1
sampai 25 ditempuh dengan menggunakan cara yang sama seperti terlihat pada
lampiran 5. Ringkasan hasil perhitungan tingkat validitas instrumen penelitian
yang menunjukkan valid adalah nomor 1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 15,
17, 19, 21, 22, 23, 24, 25. Dari jumlah 25 soal yang akan digunakan untuk
penelitian sebesar 20 soal.
(2) Analisis Reliabilitas
Suatu tes dapat dikatakan mempunyai kepercayaan yang tinggi jika tes tersebut
dapat memberikan hasil yang tetap (Arikunto, 2001 : 86).
Dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan rumus Kuder –
Richardson 20 (K – R 20) sebagai berikut :
Keterangan :
r11 = reliabilitas tes secara keseluruhan
p = proporsi subyek yang menjawab item yang benar
q = proporsi subyek yang menjawab item yang salah (q = 1-p)
pq = jumlah hasil perkalian antara p dan q
k = banyaknya item soal
s = standar deviasi dari tes
(Arikunto, 2001 : 100)
Langkah awal menghitung reliabilitas dengan rumus K-R 20 adalah
membuat tabel skor responden uji coba seperti terlihat pada lmpiran 5.
Berdasarkan perhitungan reliabilitas yang terdapat pada lampiran 7
menunjukkan bahwa r11 sebesar 0,9746. Menurut Ruseffendi (1994 : 149)
Besarnya koefisien korelasi reliabilitas berkisar antara 0,00 – 1,00. Semakin
mendekati angka satu koefisien reliabilitas semakin baik, sedangkan rtabel
sebesar 0,444. Maka r11 > rtabel maka instrumen tersebut adalah reliabel.
(3) Indeks Kesukaran









=
2
2
11 1 s
s pq
k
k
r
Teknik perhitungan indeks kesukaran adalah dengan menghitung berapa test
yang gagal menjawab benar atau memperoleh skor nilai dibawah lulus untuk tiaptiap
soal. Langkah awal menentukan indeks kesukaran adalah membuat tabel kerja
mengenai hasil jawaban responden terhadap soal-soal yang akan diuji cobakan.
Untuk soal bentuk objektif digunakan rumus sebagai berikut :
Keterangan :
IK = Indeks Kesukaran
JBA = Jumlah yang benar pada butir soal pada kelompok atas
JBB = Jumlah yang benar pada butir soal pada kelompok bawah
JSA = Banyaknya siswa pada kelompok atas
JSB = Banyaknya siswa pada kelompok bawah
Klasifikasi atau ketentuan yang digunakan adalah :
IK = 0,00 adalah soal terlalu sukar
0,00 < IK £ 0,30 adalah soal sukar
0,30 < IK £ 0,70 adalah soal sedang
0,70 < IK £ 1,00 adalah soal mudah
(Suharman, 1990 : 112)
Langkah awal untuk menentukan indeks kesukaran adalah membuat tabel kerja
mengenai hasil jawaban responden terhadap soal-soal uji coba seperti terlihat
pada lampiran 5. Dari tabel tersebut diketahui soal no 7, 10, 14, 16, 18, 20
termasuk soal sukar. Soal no 2, 3, 4, 5, 8, 12, 13, 15, 17, 19, 22, 25 termasuk
soal sedang. Soal no 1, 6, 9, 11, 21, 23, 24 termasuk soal mudah. Hasil
perhitungan tingkat kesukaran soal terdapat pada lampiran 8.
(4) Daya Pembeda soal
Langkah awal untuk mencari indeks deskriminasi adalah membuat tabel
kerja yang dikelompokkan antara kelompok atas denagn kelompok bawah. Untuk
mencari indeks deskriminasi ditentukan terlebih dahulu jumlah responden
kelompok atas yang menjawab benar dan kelompok bawah yang menjawab benar.
A B
A B
JS JS
JB JB
IK
+
+
=
Untuk menghitung daya pembeda dari alat yang diukur digunakan rumus
sebagai berikut :
Keterangan :
DP = Indeks Deskriminasi
JBA = Jumlah yang benar pada butir soal pada kelompok atas
JBB = Jumlah yang benar pada butir soal pada kelompok bawah
JSA = Jumlah siswa pada kelompok atas
Klasifikasi untuk daya pembeda adalah sebagai berikut :
DP 0,00 adalah soal sangat jelek
0,00 < DP £ 0,20 adalah soal jelek
0,20 < DP £ 0,40 adalah soal cukup
0,40 < DP £ 0,70 adalah soal baik
0,70 < DP £ 1,00 adalah soal sangat baik
(Suharman, 1990 : 112)
Berdasarkan hasil perhitungan dalam mencari daya pembeda soal terdapat
pada lampiran 5. Dari hasil perhitungan tersebut dapat diketahui bahwa soal no 7,
14, 18, 20 tergolong jelek. Soal no 4, 9, 11, 12, 13, 16, 21, 24 tergolong cukup.
Soal no 1, 2, 3, 5, 6, 8, 10, 15, 17, 19, 22, 23, 25 tergolong soal baik. Contoh
perhitungan soal terdapat pada lampiran 9.
3.6. Analisis Data
1. Tahap Awal
a. Uji Homogenitas
Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui kesamaan varians antara
kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Untuk hal itu digunakan Uji
F (Sudjana, 1996 ) sebagai berikut :
A
A B
JS
JB JB
DP

=
Ketentuan : Tolak Ho jika Fo ³ Ft
Terima Ho jika Fo £ Ft
b. Uji Normalitas Sampel
Untuk menguji normalitas sampel digunakan teknik statistik X kuadrat
dengan rumus :
Keterangan :
X2 = Chi kuadrat
Oi = Frekuensi yang diperoleh dari data penelitian
Ei = Frekuensi yang diharapkan
k = Banyak kelas interval
Kriteria pengujian :
Jika X2 data £ X2 tabel dengan derajat kebebasan dk = k – 3 dan taraf
signifikasi a = 5%, maka data yang diperoleh berdistribusi normal. Demikian
juga sebaliknya (Sudjana, 1989 : 273)
2. Analisis Tahap Akhir
Untuk mengetahui tingkat CTL pengaruhnya terhadap prestasi belajar
Bahasa Inggris pada pokok bahasan Health dan Clothes digunakan tehnik
statistika Uji-t rumus sebagai berikut :
Dimana,
Varians terkecil
Varians terbesar
Fo


=
2
1
2
=




=
k
i i
i i
E
O E
X
s
n n
X X
t
1 2
1 2
1 1
+

=
( ) ( )
2
1 1
1 2
2
2 2
2
1 1
+ −
− + −
=
n n
n s n s
s
Ketentuan :
Ho ditolak apabila t ³ t (1 )( 2) 1 2 −a n + n −
Keterangan : X1 = Mean Kelompok 1
X 2 = Mean Kelompok 2 (Sudjana, 1996 : 243)
aBAB IV
LAPORAN HASIL PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Subjek Penelitian
SMP Negeri 1 Brangsong Kendal terletak di jalan Raya No. 65 Kecamatan
Brangsong Kota Kendal yang dipimpin oleh Ibu Dra. Hj. Amien Ariyatna
Yusuf. SMP Negeri 1 Brangsong Kendal ini mempunyai 20 kelas. Proses
pembelajaran sehari-hari menggunakan sistem guru kelas dengan model
pembelajaran konvensional, yaitu model pembelajaran dan pembelajarannya
masih berpusat pada guru.
Daftar formasi lengkap mengenai personalia di SMP Negeri 1
Brangsong Kendal ini pada tahun ajaran 2004/2005 di sajikan pada lampiran 31.
Jumlah keseluruhan siswa SMP Negeri 1 Brangsong Kendal ini adalah 907.
Sedangkan jumlah siswa kelas II-F dan kelas II-B yang dipilih menjadi sampel
penelitian masing-masing berjumlah 48. Daftar nama siswa-siswi kelas II-F dan
II-B SMP Negeri 1 Brangsong Kendal terdapat pada lampiran 26 dan 27. Serta
daftar siswa yang terpilih menjadi sampel penelitian kelas eksperimen dan kelas
kontrol terdapat pada lampiran 28 dan 29. Kelas II-F ini digunakan sebagai kelas
eksperimen yang model pembelajarannya menggunakan pendekatan kontekstual
(CTL). Sedangkan kelas II-B dijadikan sebagai kelas kontrol, proses pembelajaran
yang biasa dilakukan yaitu model konvensional.
4.2. Penyajian Data
Data yang diperoleh sebagai hasil pengukuran variabel dalam penelitian
ini berupa daftar hasil observasi dan skor observasi yang terdapat pada lampiran
36. Untuk deskripsi pelaksanaan pembelajaran, data hasil belajar yaitu
perbandingan antara nilai pre-test dan nilai post-test untuk kelompok eksperimen
dan kelompok kontrol.
4.3. Analisis Data
4.3.1. Analisis Deskriptif
Hasil observasi terhadap variabel model pembelajaran CTL menunjukkan
bahwa model pembelajaran tersebut menghasilkan skor rata-rata yang tinggi
yang terdapat pada lampiran 36. Aspek penggunaan bahasa oleh guru, suasana
belajar secara umum, minat siswa terhadap materi pembelajaran, penggunaan
sumber belajar selama proses pembelajaran, variasi dan ketepatan penggunaan
media atau metode, partisipasi siswa dalam pencapaian tujuan pembelajaran,
kerjasama siswa dalam proses belajar, penghargaan terhadap siswa, dan
prosedur pelaksanaan evaluasi jumlah rata-rata skornya adalah 3. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa proses pembelajaran yang terjadi berlangsung dengan baik.
a. Hasil Pre-Test
Hasil pre-test ini digunakan untuk mengetahui korelasi antara nilai sebelum
perlakuan dan nilai sesudah perlakuan. Selain itu pre-test juga sangat
diperlukan untuk matching. Hasil pre-test digunakan untuk memilih siswa yang
akan digunakan dalam melaksanakan penelitian. Adapun daftar subjek terpilih
sebagai sampel penelitian kelas eksperimen terdapat pada lampiran 28 dan
daftar subjek terpilih sebagai sampel penelitian kelas kontrol terdapat pada
lampiran 29. Hasil pre-test selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 41. Dari
data tersebut diketahui nilai rata-rata kelompok eksperimen adalah 72,60 dan
kelompok kontrol sebesar 72,15.
b. Hasil Post-Test
Untuk mengetahui keberhasilan eksperimen yang telah dilakukan yaitu
melakukan tes akhir yang menggunakan soal-soal tes yang telah diuji cobakan
seperti terdapat pada lampiran 41. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa nilai
rata-rata kelompok eksperimen adalah 81,75 sedangkan nilai rata-rata kelompok
kontrol sebesar 75,75.
4.3.2. Analisis Inferensial
a. Uji Persyaratan
Untuk menguji normalitas digunakan rumus statistik X kuadrat dengan
ketentuan Jika X2 data £ X2 tabel dengan derajat kebebasan dk = k – 3 dan taraf
signifikansi a = 5 %, maka data yang diperoleh berdistribusi normal. Demikian
juga sebaliknya (Sudjana 1989 : 273).
Hasil pengujian terhadap nilai hasil belajar siswa dari kedua
kelompok masing-msing menghasilkan harga X2 sebesar 1,2910 untuk kelompok
eksperimen dan 2,4864 untuk kelompok kontrol. Harga X2 tabel dengan derajat
kebebasan dk = 5-3 dan taraf signifikansi a = 5% sebesar 5,99. Perbandingan
kedua kelompok itu X2 £X2 tabel. Dengan demikian Ho yang menyatakan bahwa
data tersebut berdistribusi normal diterima seperti yang terdapat pada lampiran 50
dan 51. Berdasarkan perhitungan tersebut dapat disimpulkan bahwa data tentang
hasil belajar siswa dari kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol
berdistribusi normal.
Adapun untuk uji homogenitas digunakan uji-F dengan ketentuan :
Tolak Ho jika Fo ³ Ft dan terima Ho jika Fo £ Ft. Perhitungannya terdapat pada
lampiran 52. Hasil perhitungannya menunjukkan bahwa harga Fo adalah 2,1474
dan harga Ft sebesar 2,53. Dari perhitungan tersebut diketahui bahwa Fo £ Ft,
dengan demikian Fo diterima. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nilai
hasil belajar siswa kedua kelompok yang akan dibandingkan bersifat homogen.
Berdasarkan hasil perhitungan uji normalitas dan uji homogenitas di
atas dapat disimpulkan bahwa nilai tes hasil belajar siswa, baik kelompok
eksperimen maupun kelompok kontrol telah memenuhi syarat untuk pengujian
selanjutnya.
b. Uji Hipotesis
Dalam penelitian ini uji hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji-t.
Hipotesis yang dapat diuji adalah hipotesis nihil (Ho). (Sudjana, 1996 : 239)
Oleh karena itu dalam penelitian ini hipotesis penelitian (Hi) yang
berbunyi “Siswa yang menempuh proses belajar mengajar dengan model
pembelajaran CTL hasil belajarnya lebih baik daripada siswa yang menempuh
proses belajar mengajar dengan menggunakan model pembelajaran konvensional”
harus diubah terlebih dahulu ke dalam hipotesis nihil (Ho) yang berbunyi “Siswa
yang menempuh proses belajar mengajar dengan model pembelajaran CTL hasil
belajarnya tidak berbeda dari siswa yang menempuh proses belajar mengajar
dengan model pembelajaran konvensional”.
Langkah awal untuk mendapatkan harga t adalah mencari nilai rata-rata
dan simpangan baku kemudian dikonsultasikan ke dalam rumus di atas. Hasil
perhitungan ttest (t) kemudian dikonsultasikan dengan t pada tabel (ttabel). Terima
Ho jika t <> ttabel.
Perhitungan analisis statistik t-test nilai posttest untuk kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol terdapat pada lampiran 53 yang menghasilkan t
sebesar 1,855 dan ttabel sebesar 1,69.
Dari hasil data tersebut menunjukkan bahwa nilai t lebih besar daripada
ttabel, ketentuannya yaitu Ho ditolak dan Hi diterima.
Berdasarkan ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian ini
menolak hipotesis nihil (Ho) yang mengatakan bahwa “Siswa yang menempuh
proses belajar mengajar dengan model pembelajaran CTL hasil belajarnya tidak
berbeda dari siswa yang menempuh proses belajar mengajar dengan model
pembelajaran konvensional” dan menerima hipotesis penelitian (Hi) yang
berbunyi “Siswa yang menempuh proses belajar mengajar dengan model
pembelajaran CTL hasil belajarnya lebih baik daripada siswa yang menempuh
proses belajar mengajar dengan menggunakan model pembelajaran
konvensional”.
Untuk mengetahui besarnya pengaruh pembelajaran CTL terhadap
peningkatan hasil belajar siswa digunakan rumus Koefisien Korelasi Biserial
(Sudjana : 1996)
Perhitungan analisis besarnya pengaruh pendekatan CTL terhadap hasil
belajar siswa terdapat pada lampiran 54. Dari hasil data yang ada menunjukkan
bahwa pendekatan CTL mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap
hasil belajar siswa yaitu sebesar 12,71 %.
4.3.3. Pembahasan Hasil Penelitian
Guru dan siswa merupakan dua faktor penting dalam setiap penyelenggaraan
proses pembelajaran di kelas. Guru sebagai unsur utama dan pertama dalam
proses pembelajaran, membutuhkan keterlibatan siswa demi tercapainya tujuan
pembelajaran. Keberhasilan pendidikan adalah tanggung jawab guru. Oleh
sebab itu, guru perlu merancang model pembelajaran yang efektif, sehingga
tujuan pembelajaran dapat tercapai secara optimal. Salah satu tolak ukur
sebuah proses pembelajaran berkualitas atau tidak, dapat diketahui melalui
hasil belajar siswa. Jika siswa-siswi di sekolah mempunyai hasil belajar yang
tinggi, maka dapat diduga bahwa proses pembelajaran di sekolah tersebut
memang berkualitas. Sebaliknya, jika hasil belajar siswa rendah besar
kemungkinannya bahwa proses pembelajaran di sekolah tersebut kurang
berkualitas. Hasil belajar umumnya dapat diketahui melalui nilai hasil tes
belajar.
Sistem pengelolaan kurikulum 2004 menuntut kegiatan belajar
mengajar yang memberdayakan semua potensi peserta didik untuk menguasai
kompetensi yang diharapkan. Pemberdayaan ini diarahkan untuk mendorong
individu belajar sepanjang hayat dan mewujudkan masyarakat belajar. Model
pembelajaran CTL yang dikaji dalam penelitian ini diduga merupakan model
pembelajaran yang efektif. Sebuah strategi belajar yang tidak mengharuskan siswa
menghafal fakta-fakta, tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa
mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Melalui strategi CTL,
siswa diharapkan belajar melalui mengalami bukan menghafal. Sesuatu yang baru
(pengetahuan dan ketrampilan) datang dari menemukan sendiri, bukan dari apa
kata guru (Departemen Pendidikan Nasional, Pendekatan Kontekstual : 2).
“Students learn best by actively constructing their own understanding” (Cara
belajar yang terbaik adalah siswa mengkonstruksikan sendiri secara aktif
pemahamannya) (CTL Academy Fellow, 1999). Oleh karena itu, kelas tidak selalu
berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan, kemudian ceramah
menjadi pilihan utama strategi belajar yang biasa dilaksanakan di kelas
konvensional.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dengan
menggunakan pendekatan CTL guru mampu menyajikan ide-ide atau konsepkonsep
yang sulit disampaikan secara lisan maupun tulisan agar lebih
dimengerti oleh siswa.
Ketrampilan dasar yang harus dimiliki guru dalam pembelajaran kontekstual :
1. Memiliki motivasi yang tinggi untuk mengajar Bahasa Inggris dengan
menerapkan strategi belajar yang menyenangkan (kontekstual).
2. Memiliki kreativitas yang tinggi dalam menyesuaikan buku pelajaran dengan
tingkat pengetahuan siswa dalam kehidupan nyata siswa.
3. Membiasakan komunikasi Bahasa Inggris dalam kelas agar peserta didik
tidak canggung dalam kehidupan sehari-hari.
4. Menerapkan berbagai strategi pembelajaran di kelas dengan memanfaatkan
bermacam sumber belajar. (buku, majalah, koran, vcd, tape recorder, dll)
Kebaikan menggunaan pendekatan CTL :
1. Bekerja sendiri, menemukan sendiri dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan
dan ketrampilan baru
2. Adanya kegiatan inquiri
3. Kegiatan bertanya
4. Menciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok-kelompok)
5. Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran
6. Melaksanakan refleksi di akhir pertemuan
7. Melaksanakan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara
4.3.3.1. Kekuatan CTL dalam Pembelajaran Bahasa Inggris
Pendekatan kontekstual di kelas, pelaksanaannya diwujudkan dengan
menerapkan berbagai strategi dan metode pembelajaran yang efektif, kontekstual
dan bermakna. Hal ini dimaksudkan untuk mengembangkan dan meningkatkan
kompetensi, kreativitas, kemandirian, kerjasama, solidaritas, kepemimpinan,
empati, toleransi dan kecakapan hidup siswa yang dapat membentuk watak serta
meningkatkan peradaban dan martabat bangsa. Pada pembelajaran Bahasa Inggris
pendekatan kontekstual mengajak siswa secara aktif, interaktif, dan komunikatif
melalui berbagai alat bantu atau tugas yang dapat mendorong siswa untuk berlatih
menggunakan bahasa yang dipelajarinya. Sehingga pemahaman yang sempurna
terhadap konsep pengajaran berhasil dengan baik. Dengan melatih siswa menjadi
pembaca yang efisien melalui membaca cepat (speed reading) dan meningkatkan
minat baca serta penguasaan kosakata melalui pendekatan self access learning
yang mengarah pada kemandirian siswa sebagai pembelajar Bahasa Inggris
(autonomous language learners) (Syamsudin, 2001). Selain itu pemanfaatan
sarana atau buku-buku yang bervariasi, berwarna dan bergambar untuk menarik
siswa agar memiliki minat baca yang tinggi terhadap pelajaran Bahasa Inggris.
4.3.3.2. Kegairahan Pembelajaran Siswa dengan CTL
Selama ini kita menyadari bahwa kelas-kelas kita tidak produktif.
Sehari-hari kelas hanya diisi dengan ceramah, sementara siswa dipaksa menerima
dan menghafal materi pelajaran yang diberikan. Dengan pendekatan kontekstual
(CTL) yang mengutamakan strategi belajar daripada hasil, siswa diharapkan
belajar melalui ‘mengalami’ dengan mengkonstruksi pengetahuan yang
dimilikinya dan menerapkan pada situasi dunia nyata siswa, dapat mengubah
anggapan kelas yang kurang produktif menjadi kelas yang aktif dengan
pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning). Proses pembelajaran di
kelas menjadi aktif dan kreatif, karena siswa membangun sendiri pengetahuan
mereka melalui keterlibatan aktif di kelas, jadi siswa menjadi pusat kegiatan
bukan guru. Kegiatan inquiry dan bertanya merupakan salah satu strategi dalam
CTL untuk menggali sifat ingin tahu siswa. Selain itu keberadaan masyarakat
belajar menjadi nilai plus dalam pembelajaran karena siswa tidak belajar sendiri
tetapi saling bekerja sama (belajar dengan kelompok-kelompok) agar pengetahuan
dan pemahaman lebih mendalam. Sehingga menimbulkan kegairahan belajar
siswa karena adanya kebersamaan dalam memecahkan masalah, siswa yang
pandai dapat mengajari siswa yang lemah. Kemudian adanya pemodelan sebagai
contoh pembelajaran dapat meningkatkan semangat siswa untuk mencoba meniru
seperti apa yang telah dilihatnya, dengan demikian siswa tidak mengalami
kesulitan dalam mengkonstruksi pengetahuannya. Dalam pendekatan kontekstual
refleksi merupakan peranan penting, yaitu siswa mengendapkan apa yang baru
dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan baru yang merupakan pengayaan atau
revisi dari pengetahuan sebelumnya. Dengan begitu, siswa merasa memperoleh
sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa yang baru saja dipelajarinya. Yang
terakhir, adanya authentic assessment untuk menilai kemampuan yang dimiliki
siswa tidak hanya dari hasil ulangan tetapi dari kegiatan yang dilakukan siswa
selama proses pembelajaran di kelas. Guru yang ingin mengetahui perkembangan
belajar Bahasa Inggris bagi para siswanya harus mengumpulkan data dari kegiatan
nyata saat para siswa menggunakan Bahasa Inggris bukan pada saat para siswa
mengerjakan tes Bahasa Inggris. Jadi siswa semakin tertarik dengan pembelajaran
model CTL karena mereka memperoleh nilai tambahan dari kegiatan
pembelajarannya di kelas yang dapat mempengaruhi nilai akhirnya.
Dengan demikian, hasil belajar siswa sebagai tolak ukur yang harus
diuji kebenarannya. Untuk hal ini hasil belajar siswa yang menempuh proses
belajar mengajar dengan model pembelajaran CTL diperbandingkan dengan hasil
belajar siswa yang menempuh proses belajar mengajar dengan model
pembelajaran konvensional. Hasil analisis data dalam penelitian ini menunjukkan
bahwa siswa yang menempuh proses belajar mengajar dengan model
pembelajaran CTL hasil belajarnya berbeda secara signifikan dan lebih baik
daripada siswa yang menempuh proses belajar mengajar dengan model
pembelajaran konvensional.
Perbedaan hasil belajar tersebut ditunjukkan oleh rata-rata hasil
belajar, antara kelompok siswa yang menempuh proses belajar mengajar dengan
model pembelajaran CTL dengan siswa yang menempuh proses belajar mengajar
dengan model pembelajaran konvensional. Hasil ttest sebesar 1,855 ³ ttabel sebesar
1,69 menerima hipotesis penelitian yang menyatakan siswa yang menempuh
proses belajar mengajar dengan model pembelajaran CTL hasil belajarnya lebih
baik daripada siswa yang menempuh proses belajar mengajar dengan
menggunakan model pembelajaran konvensional.
BAB V
PENUTUP
Guru wajib mengembangkan naluri anak dalam mempelajari hal-hal yang baru.
Usaha tersebut perlu dilakukan sejak usia dini, mengingat pengertian yang
terbentuk diharapkan akan mewarnai persepsi mereka di jenjang pendidikan
yang berikutnya. Untuk keperluan teresebut guru dituntut untuk mengenal lebih
dekat sisi kejiwaan anak, terutama taraf perkembangan intelegensinya.
Mengakhiri laporan ini, diberikan simpulan untuk memudahkan pembaca membuat generalisasi pemahaman dan saran
dalam kapasitas sebagai seorang peneliti.
5.1. KESIMPULAN
Penyajian kesimpulan berdasarkan interpretasi peneliti sebagai berikut :
1. Siswa yang menempuh proses belajar mengajar dengan model pembelajaran
CTL hasil belajarnya berbeda dan lebih efektif daripada siswa yang
menempuh proses belajar mengajar dengan model pembelajaran
konvensional.
2. Pengaruh penggunaan metode belajar mengajar CTL terhadap hasil belajar
siswa mata pelajaran Bahasa Inggris siswa kelas II-F SMP Negeri 1
Brangsong Kendal Tahun Ajaran 2004/2005 sebesar 12,71 %. Jadi
pembelajaran CTL itu mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap hasil
belajar siswa jika dibandingkan dengan pembelajaran konvensional yang
berarti bahwa pembelajaran CTL memiliki pengaruh yang signifikan.
5.2. SARAN
Dengan hasil penelitian ini, peneliti menyampaikan saran-saran yang berkaitan
dengan upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia,
khususnya jenjang pendidikan dasar agar hasil belajar siswa meningkat.
Saran-saran tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kepada Guru di Sekolah Menengah Pertama hendaknya dapat
mengembangkan kualitas profesinya. Dengan demikian eksplorasi pustaka
dan eksperimen empirik tentang metode kontekstual terus dilaksanakan.
Kreativitas dalam melaksanakan pembelajaran diantaranya dengan
menerapkan pendekatan belajar mengajar model CTL dalam setiap mata
pelajaran.
2. Kepada para Guru disampaikan untuk senantiasa bersikap terbuka terhadap
inovasi dan merespon secara aktif dan kreatif setiap perkembangan
pendidikan, sehingga apa yang dilakukan terhadap siswa benar-benar dapat
berguna, baik bagi kehidupannya sendiri maupun orang lain.
3. Kepada Kepala sekolah agar dapat mengevaluasi kegiatan belajar mengajar
yang dilaksanakan oleh Guru dan mengadakan monitoring secara rutin
dengan tujuan untuk mengingatkan para guru agar dapat melaksanakan proses
pembelajaran dengan baik serta tercapai peningkatan kegiatan belajar
mengajar yang optimal.
4. Kepada Instansi atau Lembaga yang terkait dengan penyelenggaraan
pendidikan di sekolah, disarankan untuk mengadakan pelatihan khusus
tentang pelaksanaan pembelajaran model CTL kepada para Guru, sehingga
para Guru dapat bekerja dengan lebih baik dan profesional yang nantinya
dapat meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.
5. Kepada Depdiknas, Dinas Pendidikan, Perguruan Tinggi (LPM, Lemlit,
Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris), media massa dan lembaga lain yang
terkait untuk melakukan kegiatan-kegiatan pelatihan yang tujuannya
meningkatkan kemampuan dan ketrampilan berbahasa Inggris para guru SMP
terutama yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan Bahasa Inggris.
Mereka harus dilatih terutama penguasaan bahasa.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2001. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta : Rineka Cipta.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta : Rineka Cipta.
Artsiyanti, Diba. 2002. Bagaimana meningkatkan Mutu Hasil Pelajaran Bahasa
Inggris di Sekolah. http ://www. Artikel. us/Artsiyanti.html.
Azwar, Saefuddin. 2001. Tes Prestasi : Fungsi dan Pengembangan Pengukuran
Prestasi Belajar (Edisi III). Yogyakarta : Pustaka Belajar.
Budiardjo, Syukur. 2002. Metode Peningkatan Kemampuan Bahasa. Jakarta :
Kompas Edisi 24-5-2002.
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik. Jakarta : Rineka Cipta.
Darsono, Max, et al. 2000. Belajar dan Pembelajaran. Semarang : IKIP Semarang
Press.
Depdiknas. 2002. Juklak Inggris SLTP. http ://www. Dikdasmen.
Depdiknas.go.id/html/setdirjen/sekretariat%201/setdirjen – program –
juklak %20ING %20 SLTP.html.
Depdiknas. 2003. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning).
Jakarta : Depdiknas.
Depdiknas. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta : Depdiknas.
Esa, Adjie. 2003. Sekolah mengalami Degradasi. http ://www. Pikiran
Rakyat.Com/Cetak/1003/07/0303.htm – 17k.
Hanifa. 2002. Serasa Belajar di Rumah. http ://www.
Republika.co.id/berita/Koran/2002/05/13/74526.shtm.
Johnson, Elaine. 1996. Contextual Teaching and Learning. California : Corwin
Press. Inc.
John. A. Glover, Roger H. 1987. Educational Psychology Principles and
Application. Boston Toronto : Little, Brown and Company.
Kaswanti Purwo, Bambang. 1998. Jangan Pakai Pola Dewasa. http ://www.
Indomedia.Com/intisari/1998/September/b_bing.htm – 7k.
Kathy Sylva, Ingrid Lunt, 1987. Child Development A First Course
(Perkembangan Anak). Jakarta : Arcan.
Kosasih, E. 1998. Kapan Anak Belajar Bahasa Inggris. http ://www.
Indomedia.Com/intisari/1998/September/bing.htm – 18k.
Kustiman, Erwin. 2002. Bahasa Inggris Dihafal atau ?. http ://www.Pikiran
rakyat. com/cetak/1102/22/0301.htm.
Margono, S. 1999. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.
Nurlina, Nina. 2002. Perlukah Pengajaran Bahasa Inggris di Sekolah Dasar.
Pikiran Rakyat Cyber Media.Com
Poerwodarminto, Wjs. 1984. Kamus Besar Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : PN
Balai Pustaka.
Rianto, Yatim. 1996. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surabaya : SIC
Surabaya.
Rosdijati, Nani. 2004. Contextual Teaching and Learning. Semarang : Lembaga
Penjamin Mutu Pendidikan Jawa Tengah.
Russefendi & Sanusi, Achmad. 1994. Dasar – Dasar Penelitian Pendidikan dan
Bidang Non Eksakta lainnya. Semarang : IKIP Semarang Press.
Rusyam, A. Tabrani, et al. 1989. Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar.
Bandung : Remadja Rosdakarya.
Sarnapi, Aji, Jalu. 2002. Problem Belajar Bahasa Inggris Bagi Anak Usia SD.
http ://www. Pikiran-rakyat.Com/cetak/0902/14/hikmah/htm – 20k.
Somantri, Nurdin. 2003. Metode Peningkatan Kemampuan Bahasa. http ://www.
Artikel.us/nsomantri 2.htm – 7 8k.
Sudjana. 1999. Pengantar Statistik. Bandung : Rineka Cipta.
Sudjana Nana, Awal Kusumah. 2000. Proposal Penelitian di Perguruan Tinggi.
Bandung : PT sinar Baru Algensindo.
Sudjana Nana, Ibrahim. 2001. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung :
Sinar Baru Algesindo.
Suharman. 1990. Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung : Wijaya Kusumah.
Sumardi, Mulianto. 1974. Pengajaran Bahasa Asing. Jakarta : Bulan Bintang.
Suminarsih. 2004. Contextual Teaching and Learning. Semarang : Lembaga
Penjamin Mutu Pendidikan Jawa Tengah.
Suryabrata, Sumadi. 1998. Metodologi Penelitian. Jakarta : Raja Grafindo
Persada.
Tim Pengadaan MKDK IKIP Semarang. 1990. Psikologi Perkembangan.
Semarang : IKIP Semarang Press.
Widodo, Wahono. 2003. Pengajaran dan Pembelajaran Kontekstual. Semarang :
Depdiknas.
Wisudo, Bambang. 2003. Maunya Pintar, Bisa – Bisa Malah Mundur. http
://www. kompas. com/kompas – cetak/0301/30/pendidikan/105006.htm.
…… 2002. Lahan Bisnis Subur di Bandung. http ://www.Kompas.com/kompas
– cetak/0205/02/daerah/laha26.htm.
…… 2004. Pelajaran Bahasa Inggris Perlu Diperbaiki. http ://www.pikiran –
rakyat.com/cetak/0504/13/03.09.htm.